Bayang-Bayang

Selasa, 28 Desember 2010

Surga yang Suram


Tuan, dinegeriku yang di antah brantah, negeri surga dengan beribu pulau nan elok, sangat kaya dengan anugrah yang luar biasa, batu pun bisa menjelma menjadi permata, gunung-gunung,sungai-sungai,danau-danau, semua mempesona, apa yang kau cari tuan? semua ada di sini..

Tapi entah mengapa, surgaku kini suram, sangat kelabu, matahari enggan nampak..mungkin kami terlalu terbuai dengan segala nikmat, atau kami yang tak tahu menghargai dan menjaga segala nikmat, begitulah terlalu banyak yang datang membuang resahnya lalu pergi, berpaling pun tidak tuan..yang tertinggal hanyalah sampah membusuk berserakan dengan aroma menyengat dan ulat-ulat yang menjijikkan!!teramat sangat..
Lalu mereka bertengkar, bertengkar memperebutkan apa saja asal senang, selain sampah yang terbuang, menganggap semua warisan kakek neneknya..

Entahlah, tiba-tiba muncul secercah mentari, cuma secercah! para pecundang berbondong-bondong menklaim itu jasanya..terlalu banyak yang berkepentingan jadi pahlawan, semua mau jadi pahlawan..sudahlah, dinegriku sudah terlalu banyak pahlawan dan sudah terlalu banyak pula pahlawan sebenarnya yang diabaikan. Ketika secercah mentari itu meredup berbondong-bondonglah mereka mencari korban, harus ada korban! itulah cara kerja pecundang..

Kasihan mereka yang menghidupkan secercah mentari, anak-anak lugu yang dihancurkan berlahan, dipoles sedemikan rupa..Diberi beban yang tak mampu mereka bawa..
Yah, ini surga Tuan, bagi mereka para pecundang nurani..

Senin, 27 Desember 2010

Angkuh

Pernakah engkau melihat mentari tak terbit dikala pagi?
Pernakah engkau melihat air mengering di lautan?
Pernakah engkau melihat udara yang berhembus lewat hidungmu?
Pernakah engkau melihat tanah menjadi marah yang tiap saat kau injak?
Pernakah engkau melihat mereka meminta imbalan?
Tidak! aku yakin tidak!

Lalu untuk apa dan siapa semua itu?


Mungkinkah mentari suatu saat akan padam?
Air mengering dilautan?
Udara tak lagi berhembus lewat hidung?
Tanah tak lagi menumbuhkan apa-apa?
Mungkin saja! aku yakin mungkin!

Adakah yang abadi selain keabadian?
Lalu apakah yang membuatmu angkuh?
la_solucion  (gambar, kaskus)

Sabtu, 25 Desember 2010

Ingkar

Seperti waktu yang tak pernah terlambat, berjalan konstan, megikuti irama sang kala..
Laksana merpati yang tak pernah ingkar..berjalan sesuai irama..
Malam semakin larut, otak tetap beku walau nada semakin syahdu..

Sayup-sayup irama gitar agak melambat..
Subuh mulai menyapa..
Lambat laun suara gitar itu menghilang..
Terganti dengan suara azan yang menyelinap kedalam telinga..

Ada suara melantungkan ayat-ayat..
Begitu merdu memecah sunyi dalam cengkraman subuh..
Menggetarkan setiap sendi-sendi tubuh yang rapuh..
Teramat rapuh, dalam balutan tulang belulang dan kulit yang mengering..

Kotak kecil mulai penuh dengan ampas yang terbuang bersama asap yang mengepul..
Menyelimuti dinding-dinding yang membisu..
Menatap sayu gambar yang kaku disudut kamar yang sempit..
Bergeser pelan dari layar monitor yang menyita detik demi detik tiap detak jantung..

Ada suara yang sangat pelan, apakah ini mimpi? suara itu begitu halus menyapa sunyi..
Bersama lantunan ayat-ayat menghentak kebisuan disaat hening..
Begitu lambat namun jelas, merasuk begitu dalam..
"Apakah yang membuatmu enggan beranjak dari kegalauan?
"Apakah ingkar adalah seni?

Sesaat lalu menghilang..
Lalu,, sepi kembali membawa gundah..
Bertanya tentang arti semua..

Akh..
Subuh akan segera beranjak dari peraduan malam..
Tak perlu untuk menunggu..
Bukankah menunggu terkadang menyesakkan?

Jumat, 24 Desember 2010

Ironi

Dalam peluh meretas ilalang yang meneteskan embun sebelum menghilang kala sang surya muncul dicelah kabut. Ketika sekat tak membatasi yang selalu bersama ruang. Meniti setapak demi setapak menuju asa yang terkadang bias namun sang surya berlahan meninggi mengikuti jejak kabut yang beranjak pergi, menjauh dari lembah yang dingin. Otot-otot yang mengembang mengintip disela kain penutup tubuh yang telah terkoyak, menyulam detik demi detik untuk sekedar bertahan sebelum tetes keringat membuat tubuh mengering.
Semilir angin yang berhembus dari laut membawa pertanda, para petarung ombak dalam kepingan-kepingan papan menembus gelapnya malam ditengah badai ketidakpastian telah kembali. Perahu telah bersandar bersama asa disambut riang bocah-bocah yang bertelanjang dada, setidaknya perut tidak ribut dikala sang surya sudah meninggi, biarlah yang lain jadi mimpi indah yang terkadang menyesakkan.
Dalam mimpi yang tergangu nyamuk di emperan toko, ada yang terbangun bersama riuhnya kenalpot yang meninggalkan asap, riuh suara tanpa sapa, gerutu dalam riuh itu sudah biasa. Biarlah, ada mozaik yang harus dirangkai, asa tinggallah asa, tak perduli dengan apa yang akan terjadi esok, bukankah semua sama saja?
Namun, diatas kursi empuk diruang yang sejuk. Nampak gagah dengan dasi yang indah  dalam dinding dipuncak menara, ada yang sibuk menghitung laba dari tiap tetesan keringat di gunung, laut dan emperan toko. Keringat enggan keluar, terlalu sejuk dengan keramik nan indah. Muka polos seolah suci, otak brilian tanpa rasa bingung menatap kertas ajaib yang menumpuk bersama asa mereka..
gambar, google

Kamis, 09 Desember 2010

Cukup Hujan yang Membasahi Bumi..


Hari ini hujan tak seperti kemarin,, agak melambat sedikit pelan..Mungkin sudah mulai bosan ataukah volume air yang hendak ditumpahkan sudah berkurang..Tak lama hujan pun mereda tanpa perlu komando.. Sudahlah, jangan lagi ada air yang jatuh selain hujan..
Pelan, kubuka kamar kosong dekat kolam dengan ikan-ikan berwarna kekuningan..Kutatap sebentar lalu kubereskan sedikit, ah dah lumayan bersih.. satu-persatu buku-buku yang hampir usang kupindahkan, meja, kursi dan bereslah semua..
Simpel dan sederhana, tempatku akan melemaskan otot-otot dan berkutat dengan buku-buku menyelesaikan apa yang seharusnya kutuntaskan..
Hujan dari tadi berlalu, tapi dinginnya tidak, ia tetap setia..
Buku-buku itu kembali kubolak-balik tak jelas, tapi tak ada gairah menyelami kedalaman isinya.. dingin tetap enggan beranjak, mengajakku terlelap, kembali bermimpi, tapi tidak! Itu nanti..
Tiba-tiba telpon gengamku berbunyi..
"Assalamualaikumm,,”
"waalikumussalam” sedikit bersemangat walau agak dipaksakan..
”kamu baik-baik saja? Katanya sepupumu, kamu habis maen ke Pulau Dewata ya? Wah..jantung berdetak kencang, akh ketahuan juga..
”iya, jalan-jalan”..
”berapa lama disana? Sama siapa?...
"satu mingguan, sama temen ehehe”..
”ooh, kapan-kapan pulanglah dulu, dah berapa bulan dak pulang”..
“nantilah, masih sibuk nih"..
Sesaat tak ada suara..”kamu baik-baik saja kan, katanya habis sakit? Suara itu berubah agak parau,, 
“iya, udah sehat sekali kok, aku ga apa-apa”..
”duitmu gimana? Kamu makan apa? Kalo butuh bilang aja” ..
“masih-masih, cukuplah beberapa hari, tapi ga bakalan nyampe bulan depan”..
"mau di tambah berapa?bilang aja”..
”berapa-berapalah, seadanya” bukan bijak cuma ga enak..
”oke nanti tak kirim, kapan-kapan pulanglah kami rindu,..” 
"nanti deh, urus tugas akhir dulu”.. teringat tujuh kurcaci-kurcaci mungil yang hampir semua seumuran, dah mulai nakal dengan senyum polos selalu menyambutku bila pulang..kusebut mereka ponakanku..
Agak lama, lalu..“ooh, oke-oke sudah dulu yah, baik-baik disana, Assalamualaikum” suara yang tadi parau kini agak tidak jelas, ada isak di ujung telpon..
”iye,, waalaikumussalam” ucapku kaku..
Akhhhh..ada lagi air yang jatuh ke bumi disebrang pulau sana, kali ini bukan tetesan hujan walau dinginnya sama terasa disini..
Lagi-lagi air matamu terjatuh ke bumi ini, Maaf Bu’ walau kau tak mendengarnya lagi, kutau Engkau merindu, aku pun sama””.. Karena Ada asa menggantung dilangit..
Akh,, cukuplah air hujan yang membasahi bumi, jangan lagi ada yang lain “maaf Bu..”
...Maafkan daku lelaki lelaki tunggal kebanggaanmu yang keras kepala...


Rabu, 08 Desember 2010

Aku Tak Bersama Angin..

Di suduk kamar dengan alaunan musik yang tak menghentak, menantap dalam kaleng-kaleng kosong
yang berserakan. Kepulan asap seperti kabut menyelimuti, sedikit terbuang lewat jendela yang terbuka separuh.

Teringat pasir-pasir yang berserakan dengan tiupan angin menuju atapmu. Angin yang hampir saja menerbangkan tubuh kurus ini menuju lembah_MU yang dalam, lalu? akh aku tak suka mengenang,
karena katanya mengenang adalah tugas sejati para pecundang. Tapi biarlah kali ini,,aku jadi pecundang.

Aku terlalu rendah untuk jadi penakluk, biarlah aku belajar menaklukkan diriku sendiri..

Mimpi? yah, dulu ini mimpiku,
sekarang tidak lagi, ini nyata!
Lalu kembali aku bermimpi, karena seperti katamu, berawal dari mimpi lalu wujudkan..
Akh, retorika, lagi-lagi retorika. Bukankan dunia banyak berubah karena retorika?

Aku tak pernah enggan bercengkrama dengan siapa pun, kerena memang indah menjadi manusia dengan kebebasan yang diberikan oleh-NYA.. Terima kasih, cuma itu yang bisa kukatakan karena ku yakin Engkau tak butuh apa-apa termasuk balasan. Engkau Ikhlas, aku pun belajar dan belajar untuk itu..Semoga..

Aku tak pergi bersama angin, satu dunia, anak semua bangsa. Aku pergi bersama saudaraku,
saudaraku yang jauh seperti halnya saudara-saudaraku yang lain termasuk engkau jika tak enggan,
karena aku tak pernah membedakan saudara-saudaraku. entah siapa dan dari mana..

Kuyakin engkau pun tak sendiri, banyak yang bersedia bersamamu bernyanyi, terbang mengarungi kebebasan..

Aku berbagi, belajar bersama mereka, kaupun begitu cuma berbeda alam..
Terimakasih atas doa dan seyum yang menghantarku pergi, aku pun tahu itu, tapi,
selanjutnya ada kata yang tak terbahasakan..

Sesaat angin berhembus lewat jendela yang terbuka setengah, mungkin mengajakku beranjak, tapi tidak
aku disini, mencoba menyelesaikan apa yang telah kumulai, walau agak telat,, "maaf" Ayah Bunda, walau
engkau tak pernah memaksakan apapun untukku, itulah Cintamu dalam C besar"""membebaskan""

Alunan lagu jadi syahdu,
angin pun hanya bertiup sepoi-sepoi,
asap berlalu, menjauh pergi.
Tidak,, Aku tetap disini..

Senja..seperti biasa

Sesaat terlupa dalam rentang waktu
ada jarak dalam tiap detik
singkat dan tak jelas
seperti senja berganti malam
berlalu membawa sedih yang diam-diam
dan seperti biasa, tak terjelaskan

Biarlah, ketika subuh kau terganti
tak perlu merajuk untuk bertahan
pergilah sejauh yang kau mau
bukankah esok senja akan kembali
dengan kesedihan yang sama?
lalu kembali terlupa kala subuh
seperti biasa...

Selasa, 07 Desember 2010

Alam Bahasa..

Kilau mentari mengintip malu diantara celah-celah awan pagi itu,
tapi derasnya angin tak berarti apa-apa terhadap cahayanya,
tetap berkilau kekuningan,
bukan emas cuma warna,
tidak lama, awan memberi ruang untuknya.
angin tetap bertiup kencang,
pasir tetap sama,
cuma sedikit berubah,
hangat..

Gemuruh,
angin bersuara, walau tak tampak,
bebatuan tetap diam,
enggan beranjak dari tempatnya.
itulah batu,
diam dan membisu,
tapi jangan remehkan batu yang menghalangi tubuh dari angin,
mengurangi panas tubuh terbuang percuma,
yah, begitulah bahasa mereka dalam diam,
bahasa kehidupan..

Akh,,
Kabut berlahan turun,
meniti jurang menuju lembah,
edelweis tetap abadi..

Aku Jalan..

Jalan hidup memang berliku, sangat berliku. Kadang indah, kadang kelam.
Namun yang terpenting adalah memilih jalan, dan menjalani jalan itu betapapun berlikunya.
Walau terkadang banyak yang tak mengerti jalan yang orang lain pilih.
dan berharap semua berjalan dijalannya, dijalan hidupnya.

Indah, terkadang sangat indah walau terkadang pula hanya sesaat.
"Keberuntungan pemula" kata Paulo Coelho. Selanjutnya alam semesta akan menguji.
dan menyeleksi yang terpilih. Yang bertahan (survive) dengan takdirnya.
Yang tak tahan, "maaf" silahkan minggir! alam semesta tak mengenal status dan strata.

Ujian, yah segala sesuatu butuh di uji, apapun itu.
dan terkadang tak dimengerti.
Itu untuk menempa jiwa-jiwa pengembara agar tidak kerdil.
Sekeras baja, selembut sutra.
Sedalam bumi, setinggi langit.
Seluas cakrawala.
Sesederhana Cinta.
Serumit mencintai.

dan aku?
tak usah kau hiraukan.
Aku Jalan.
Aku hanyalah debu yang menempel di kerah bajumu.
Kerikil kecil yang melukai kakimu.
Menghambatmu melangkah jauh.

Aku Jalan.
Aku terbiasa.
dan biarlah Aku jalan sendiri.

Senin, 16 Agustus 2010

Cakrawala..31/6-1/7-2010

18.00..
Kepala tegak
Setinggi gunung sekokoh karang
Bercerita tentang keberadaan
Tentang ombak, pasir, angin, bulan, bintang
dan senja yang berlalu
Diantara ruang, rasa, dan asa
Dengan segala batas
..Keindahan..

00.00..
Kepala setinggi ombak
Bercerita tentang semua
Semua tentang
Bumi, langit dalam orbit
Dengan segala keteraturan
..Keseimbangan…

02.30..
Kepala serendah pasir
Diam dalam kosong
Mendengar desahan ombak dan pasir
Cerita angin dan dedaunan
Bulan dan hamparan bintang
Tentang ada dan ketiadaan
..KeEsaan..

Malam dengan semua…
Hening dengan segala…
Akh..andaikan hati seluas cakrawala pikiran seluas laut...

Semesta Bersujud

Malam dan hening
Berkutat dalam sepi yang menderu jiwa
Kering dan menjauh pergi
Walau menafikan-Mu enggan dalam rasa

Seperti air yang menghempaskan sepinya di bebatuan
Atau angin yang berbagi sepi dengan dedaunan
Raga menghempaskan diri dalam lamunan
Tapi jiwa sepi kemana ia hendak berbagi?
Kalau bukan pada-Mu

Raga bisa berdusta dalam bentuk
Tapi jiwa takkan pernah khianat
Lalu adakah yang tak berjiwa?

Sabtu, 29 Mei 2010

Baik dan Buruk

Manusia terlahir dalam keadaan suci. Dimanapun iya dilahirkan dan dilahirkan oleh siapa dengan cara bagaimana tidak mengurangi kesucian tersebut. Semua manusia mempunyai potensi yang sama, namun dalam perkembangannya berpotensi mempunyai dua sifat, baik dan buruk. Hal tersebut sangat dipengaruhi perkembangan kejiwaannya dan sejauh mana ia mau menggali kesadaran kritisnya. Kehidupan di dunia ini pun hanya terdiri dari peperangan antara yaitu antara yang baik dan yang buruk (seperti dalam film my name is khan), sampai kapan pun pertarungan tersebut tetap sama, termasuk pertarungan dalam diri manusia itu sendiri. Menurut Murthada Muttahari, baik itu baik bukan karena dianjurkan dan buruk itu buruk bukan karena dilarang tapi esensinya atau hakikatnya memang demikian. Dan terserah mau memilih yang mana karena itulah pilihan, biarlah benar dan salah menjadi urusan Tuhan.

Kerugian terbesar sebagian besar manusia adalah karena tidak mau berfikir, seakan-akan kehidupan cuma mengejar materi dan kesenangan. Ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat tetapi hanya mengajarkan kita untuk berfikir sepihak dan membatasi pengetahuan dengan sekat-sekat atas nama profesionalisme dan disadari atau tidak hal tersebut menjadikan kita seolah-olah menjadi robot pekerja yang hanya boleh mengetahui dan mengerjakan satu hal saja. Memang hal tersebut membuat manusia semakin maju dalam bidang peradaban dan cukup ampuh dalam mengejar dan mengumpulkan materi untuk kesenangan pribadi. Kehidupan pun semakin menjadi realistis, seakan-akan baik dan buruk bukanlah sesuatu yang terpisah dan urgen untuk dibahas. Pandangan kita pun secara keseluruhan akan menjadi kabur dan sekat-sekat kemanusiaan semakin menganga.

Penilaian terhadap manusia pun bergeser, apakah dia kaya atau tidak, berpendidikan atau tidak, gagah/cantik atau jelek. Manusia tidak lagi di bedakan antara mana sifat yang baik sifat yang buruk dan dianggap bukan hal yang perlu, yang penting bisa kaya dan berpendidikan.

Kaya dan miskin bukanlah hal yang substansial, karena itu bukan jaminan dari kebahagiaan bukan pula penanda baik dan buruk apalagi benar dan salah melainkan hanyalah sebuah realitas dari pergolakan kehidupan yang tidak bermakna apa-apa..pendidikan (sekolah) bukan pula jaminan, orang berpendidikan belum tentu menjadi orang baik dan begitu pula sebaliknya, walaupun sebenarnya dan seharusnya pendidikan berpotensi untuk itu..yang terpenting sisi-sisi kemanusiaan manusia tidaklah redup atas nama realitas yang absurd dan membosankan itu..

Kehidupan tidaklah berjalan dengan mimpi, tapi pikiran jangan sampai terseret arus realitas, jurang pemisah dalam kehidupan tidak berarti mematikan mimpi dan mejadikannya realistis. Semua manusia adalah sama, tak ada pembeda sedikit pun semuanya akan dimintai pertanggungjawaban yang sama, yang paling mulia dimata manusia normal dan berakal adalah yang paling menjunjung nilai-nilai kemanusiaan. Dan yang paling mulia di mata Tuhan adalah yang paling bertakwa kepada-Nya..dan biarlah Tuhan sendiri yang menilai, karena hanya Dia yang punya otoritas untuk itu..



Uang dan Dehumanisasi


Teringat masa-masa kecil di kampung, yang terbelakang dengan kemajuan  ilmu pengetahuan apalagi  teknologi dan informasi, di sebuah desa terpencil di Sinjai, Sulawesi Selatan. Saat kecil, kontrol perilaku dari orang tua dikampung mendominasi prilaku sehari-hari, salah satunya  dari segi sopan santun terutama saat berbicara dengan orang yang lebih tua.
Istilah sipakatau”  (bahasa bugis yang berarti saling memanusiakan) sering keluar dari mulut orang tua saya yang sering menegur ketika melihat saya berbicara kurang sopan terhadap orang yang lebih tua (sering lupa menyapa dengan kata “puang” dan “iye” dan “mappatabe” ketika lewat di depan orang yang lagi duduk. Puang” sapaan yang bernada penghormatan terhadap orang tua, siapapun dia dan iye”, berarti “iya” secara sopan serta “mappatabe” minta ijin untuk lewat dengan membungkukkan badan dan menjulurkan tangan kebawah seakan-akan menghalangi kaki untuk menghormati orang yang duduk).
Menurut ayah saya (ketika melihat muka saya yang masam ketika dapat teguran), bahwa kita harus mengahargai orang lain, (walaupun sekedar kata dan isyarat atau tanda) atau memanusiakan orang lain, karena memanusiakan orang lain berarti memanusiakan (menghargai) diri sendiri karena posisi kita sama, yaitu sama-sama manusia serta menghina orang lain sama saja menghina diri sendiri.
Tapi apakah orang yang tidak memanusiakan sesama manusia pantas untuk dimanusiakan? Orang yang tidak memanusiakan sesama manusia berarti dia telah men-dehumanisasikan dirinya sendiri. Seorang teman saya pernah bilang kalau kita membenci seseorang karena sifatnya bukan orangnya, walaupun sifaf dan prilaku sesorang tidak bisa dipisahkan artinya kita membenci sifat buruknya, tapi kita jangan sampai membenci orangnya secara utuh (keseluruhan) karena manusia pada hakikatnya semua baik.
Tapi apakah sekarang “sipakatau” dalam kemajuan ilmu pengetahuan masih ada dalam isyarat maupun prilaku?
Yah, kemajuan ilmu pengetahuan terutama dibidang teknologi informasi telah mengubah manusia yang katanya menjadi moderen, dan tak luput pula menjadikan uang, kekuasaan menjadi benda setengah dewa. Manusia dihargai bukan lagi karena Ia baik, tapi karena dia punya uang dan atau kekuasaan, entah apakah korup, culas atau rampok. Sebagian manusia telah kehilangan hakikatnya sebagai manusia, dan digadaikan dalam bentuk barang, diproyeksikan dalam bentuk materi. Seperti yang dikatakan Murthadha Muttahari bahwa  ilmu pengetahuan gagal mencetak kehidupan menjadi kehidupan manusia, tetapi hanya menjadikan dunia menjadi dunia manusia.
George Sarton dalam Murthada Muttahari, Manusia dan Alam Semesta mengatakan bahwa
“Dibidang-bidang tertentu, ilmu pengetahuan berhasil membuat kemajuan yang hebat, namun dibidang-bidang yang lain yang berkaitan dengan hubungan antar ummat manusia, misalnya dibidang politik nasional dan iternasional, kita masih menertawakan diri kita”.
Hal tersebut tidaklah berlebihan, wakil rakyat, dan pemerintah dipilih bukan karena dianggap baik dan mampu tapi karena apakah dia punya uang atau tidak sehingga yang diperjuankan bukan kemanusiaan dan kepentingan ummat manusia (rakyatnya) tetapi apakah ada uangnya atau tidak, sehingga kedaulatan rakyat dalam demokrasi bisa dipertanyakan, apakah kedaulatan rakyat atau kedaulatan uang? dan apakah kepentingan rakyat (ummat manusia) atau kepentingan uang dan kekuasaan?
Dalam dunia Internasional, negara-negara adidaya pun ramai-ramai meng-ekspansi negara-negara lain dalam berbagai bentuk, seperti ekonomi, teknologi, ideologi (seakan-akan kebenaran adalah apa yang menurut mereka benar), budaya bahkan perang pun jadi halal bagi mereka atas nama Dollar yang dibungkus rapi seolah-olah merekalah pahlawan kemanusiaan.
Begitupula yang sering terjadi dalam masyarakat, orang dihargai bukan lagi karena dia baik atau karena sasama manusia, tapi karena dia kaya, tanpa mempedulikan apakah dia kaya dari menindas sesamanya, apakah dari uang haram atau bukan, yang jelas kaya, anda terhormat, jadi tidak mengherankan kalau manusia ramai-ramai mengumpulkan uang dengan menghalalkan semua cara.
Jauh-jauh hari Einstein telah mengingatkan perlunya harmonisasi Ilmu Pengetahuan dengan Agama (moralitas) bahwa Agama tanpa Ilmu sama dengan Lumpuh, dan Ilmu tanpa Agama sama dengan Buta. Ini pula yang dikhawatirkan oleh Pramudia Anata Tour, bahwa ilmu pengetahuan yang jatuh kepada orang-orang yang tidak bermoral adalah bencana besar, dan cara untuk memperbaiki kembali adalah ilmu pengetahuan harus jatuh di tangan orang-orang yang bermoral.
Ah, ngeri juga kalau kata “sipakatau (saling memanusiakan) berubah menjadi “sipakadoi” (saling meng-uangkan) atau “sipakadongo” (saling membodohi/menipu).

Keseimbangan

Pemanasan global, dua kata yang sangat populer (walau akhir-akhir ini menjadi kurang populer karena bencana century) bukanlah sesuatu yang menakutkan, bahkan seharusnya memang begitu adanya , kalau pemanasan global tidak ada maka niscaya tidak akan ada kehidupan di dunia ini, dunia akan membeku. yang jadi masalah ketika pemanasan global jadi tidak terkendali, maka juga akan berbahaya seperti yang dikhawatirkan para ahli lingkungan. 

Seperti laut yang selalu berombak, karena ada perbedaan tekanan, sehingga udara bergerak menjadi angin yang bertiup menyebabkan nyiur melambai dan laut berombak, begitu pula sebaliknya sehingga pohon di gunung tak berani tumbuh tinggi dan besar, tak kuasa menahan badai (Seperti kata orang bijak, kalau tak tahan dihantam badai, jangan coba-coba tumbuh di atas gunung).

Di kota, masalah klasik adalah banjir. Kenapa banjir? Karena ada hujan, di gurun sana tidak pernah banjir karena tidak ada hujan, (jadi kalau tidak mau banjir, berdoa supaya tidak turun hujan hehe..) sesederhana itukah? debit air besar dan tidak ada resapan air, wajar karena hampir semua tanah di tanami beton dan aspal, pohon diganti papan reklame, aliran air tersumbat sampah, dan sebagainya.

Iya, alam selalu mencari bentuk keseimbangan , berjalan menurut keseimbangannya..
Jadi, masihkah kita mempersalahkan Alam dan Tuhan atas semua bencana yang sering terjadi, seakan akan Alam dan Tuhan begitu kejam? 

Begitu pula kehidupan manusia, selalu mencari titik keseimbangan, terkadang sedih, kadang senang, marah, bahagia, semua punya batas dan berotasi sampai akhir. Kalau tidak terjadi keseimbangan, maka akan muncul gejolak sampai mencapai titik tersebut.

Yang kaya terlalu kaya dan yang miskin terlalu miskin, yang daerah maju terlalu maju dan yang daerah tertinggal terlalu tertinggal. Kekayaan Alam dikeruk habis, dan dibawa entah kemana sementara penduduk di sekitarnya hanya kebagian dampak dan bencana yang timbul kemudian, juga bukanlah suatu bentuk keseimbangan..

Mungkin perlu untuk dipikirkan lagi............. kenapa di beberapa wilayah Indonesia, khususnya di bagian timur selau bergejolak? Mungkin sedang mencari bentuk keseimbangan...