Bayang-Bayang

Sabtu, 29 Mei 2010

Baik dan Buruk

Manusia terlahir dalam keadaan suci. Dimanapun iya dilahirkan dan dilahirkan oleh siapa dengan cara bagaimana tidak mengurangi kesucian tersebut. Semua manusia mempunyai potensi yang sama, namun dalam perkembangannya berpotensi mempunyai dua sifat, baik dan buruk. Hal tersebut sangat dipengaruhi perkembangan kejiwaannya dan sejauh mana ia mau menggali kesadaran kritisnya. Kehidupan di dunia ini pun hanya terdiri dari peperangan antara yaitu antara yang baik dan yang buruk (seperti dalam film my name is khan), sampai kapan pun pertarungan tersebut tetap sama, termasuk pertarungan dalam diri manusia itu sendiri. Menurut Murthada Muttahari, baik itu baik bukan karena dianjurkan dan buruk itu buruk bukan karena dilarang tapi esensinya atau hakikatnya memang demikian. Dan terserah mau memilih yang mana karena itulah pilihan, biarlah benar dan salah menjadi urusan Tuhan.

Kerugian terbesar sebagian besar manusia adalah karena tidak mau berfikir, seakan-akan kehidupan cuma mengejar materi dan kesenangan. Ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat tetapi hanya mengajarkan kita untuk berfikir sepihak dan membatasi pengetahuan dengan sekat-sekat atas nama profesionalisme dan disadari atau tidak hal tersebut menjadikan kita seolah-olah menjadi robot pekerja yang hanya boleh mengetahui dan mengerjakan satu hal saja. Memang hal tersebut membuat manusia semakin maju dalam bidang peradaban dan cukup ampuh dalam mengejar dan mengumpulkan materi untuk kesenangan pribadi. Kehidupan pun semakin menjadi realistis, seakan-akan baik dan buruk bukanlah sesuatu yang terpisah dan urgen untuk dibahas. Pandangan kita pun secara keseluruhan akan menjadi kabur dan sekat-sekat kemanusiaan semakin menganga.

Penilaian terhadap manusia pun bergeser, apakah dia kaya atau tidak, berpendidikan atau tidak, gagah/cantik atau jelek. Manusia tidak lagi di bedakan antara mana sifat yang baik sifat yang buruk dan dianggap bukan hal yang perlu, yang penting bisa kaya dan berpendidikan.

Kaya dan miskin bukanlah hal yang substansial, karena itu bukan jaminan dari kebahagiaan bukan pula penanda baik dan buruk apalagi benar dan salah melainkan hanyalah sebuah realitas dari pergolakan kehidupan yang tidak bermakna apa-apa..pendidikan (sekolah) bukan pula jaminan, orang berpendidikan belum tentu menjadi orang baik dan begitu pula sebaliknya, walaupun sebenarnya dan seharusnya pendidikan berpotensi untuk itu..yang terpenting sisi-sisi kemanusiaan manusia tidaklah redup atas nama realitas yang absurd dan membosankan itu..

Kehidupan tidaklah berjalan dengan mimpi, tapi pikiran jangan sampai terseret arus realitas, jurang pemisah dalam kehidupan tidak berarti mematikan mimpi dan mejadikannya realistis. Semua manusia adalah sama, tak ada pembeda sedikit pun semuanya akan dimintai pertanggungjawaban yang sama, yang paling mulia dimata manusia normal dan berakal adalah yang paling menjunjung nilai-nilai kemanusiaan. Dan yang paling mulia di mata Tuhan adalah yang paling bertakwa kepada-Nya..dan biarlah Tuhan sendiri yang menilai, karena hanya Dia yang punya otoritas untuk itu..



Uang dan Dehumanisasi


Teringat masa-masa kecil di kampung, yang terbelakang dengan kemajuan  ilmu pengetahuan apalagi  teknologi dan informasi, di sebuah desa terpencil di Sinjai, Sulawesi Selatan. Saat kecil, kontrol perilaku dari orang tua dikampung mendominasi prilaku sehari-hari, salah satunya  dari segi sopan santun terutama saat berbicara dengan orang yang lebih tua.
Istilah sipakatau”  (bahasa bugis yang berarti saling memanusiakan) sering keluar dari mulut orang tua saya yang sering menegur ketika melihat saya berbicara kurang sopan terhadap orang yang lebih tua (sering lupa menyapa dengan kata “puang” dan “iye” dan “mappatabe” ketika lewat di depan orang yang lagi duduk. Puang” sapaan yang bernada penghormatan terhadap orang tua, siapapun dia dan iye”, berarti “iya” secara sopan serta “mappatabe” minta ijin untuk lewat dengan membungkukkan badan dan menjulurkan tangan kebawah seakan-akan menghalangi kaki untuk menghormati orang yang duduk).
Menurut ayah saya (ketika melihat muka saya yang masam ketika dapat teguran), bahwa kita harus mengahargai orang lain, (walaupun sekedar kata dan isyarat atau tanda) atau memanusiakan orang lain, karena memanusiakan orang lain berarti memanusiakan (menghargai) diri sendiri karena posisi kita sama, yaitu sama-sama manusia serta menghina orang lain sama saja menghina diri sendiri.
Tapi apakah orang yang tidak memanusiakan sesama manusia pantas untuk dimanusiakan? Orang yang tidak memanusiakan sesama manusia berarti dia telah men-dehumanisasikan dirinya sendiri. Seorang teman saya pernah bilang kalau kita membenci seseorang karena sifatnya bukan orangnya, walaupun sifaf dan prilaku sesorang tidak bisa dipisahkan artinya kita membenci sifat buruknya, tapi kita jangan sampai membenci orangnya secara utuh (keseluruhan) karena manusia pada hakikatnya semua baik.
Tapi apakah sekarang “sipakatau” dalam kemajuan ilmu pengetahuan masih ada dalam isyarat maupun prilaku?
Yah, kemajuan ilmu pengetahuan terutama dibidang teknologi informasi telah mengubah manusia yang katanya menjadi moderen, dan tak luput pula menjadikan uang, kekuasaan menjadi benda setengah dewa. Manusia dihargai bukan lagi karena Ia baik, tapi karena dia punya uang dan atau kekuasaan, entah apakah korup, culas atau rampok. Sebagian manusia telah kehilangan hakikatnya sebagai manusia, dan digadaikan dalam bentuk barang, diproyeksikan dalam bentuk materi. Seperti yang dikatakan Murthadha Muttahari bahwa  ilmu pengetahuan gagal mencetak kehidupan menjadi kehidupan manusia, tetapi hanya menjadikan dunia menjadi dunia manusia.
George Sarton dalam Murthada Muttahari, Manusia dan Alam Semesta mengatakan bahwa
“Dibidang-bidang tertentu, ilmu pengetahuan berhasil membuat kemajuan yang hebat, namun dibidang-bidang yang lain yang berkaitan dengan hubungan antar ummat manusia, misalnya dibidang politik nasional dan iternasional, kita masih menertawakan diri kita”.
Hal tersebut tidaklah berlebihan, wakil rakyat, dan pemerintah dipilih bukan karena dianggap baik dan mampu tapi karena apakah dia punya uang atau tidak sehingga yang diperjuankan bukan kemanusiaan dan kepentingan ummat manusia (rakyatnya) tetapi apakah ada uangnya atau tidak, sehingga kedaulatan rakyat dalam demokrasi bisa dipertanyakan, apakah kedaulatan rakyat atau kedaulatan uang? dan apakah kepentingan rakyat (ummat manusia) atau kepentingan uang dan kekuasaan?
Dalam dunia Internasional, negara-negara adidaya pun ramai-ramai meng-ekspansi negara-negara lain dalam berbagai bentuk, seperti ekonomi, teknologi, ideologi (seakan-akan kebenaran adalah apa yang menurut mereka benar), budaya bahkan perang pun jadi halal bagi mereka atas nama Dollar yang dibungkus rapi seolah-olah merekalah pahlawan kemanusiaan.
Begitupula yang sering terjadi dalam masyarakat, orang dihargai bukan lagi karena dia baik atau karena sasama manusia, tapi karena dia kaya, tanpa mempedulikan apakah dia kaya dari menindas sesamanya, apakah dari uang haram atau bukan, yang jelas kaya, anda terhormat, jadi tidak mengherankan kalau manusia ramai-ramai mengumpulkan uang dengan menghalalkan semua cara.
Jauh-jauh hari Einstein telah mengingatkan perlunya harmonisasi Ilmu Pengetahuan dengan Agama (moralitas) bahwa Agama tanpa Ilmu sama dengan Lumpuh, dan Ilmu tanpa Agama sama dengan Buta. Ini pula yang dikhawatirkan oleh Pramudia Anata Tour, bahwa ilmu pengetahuan yang jatuh kepada orang-orang yang tidak bermoral adalah bencana besar, dan cara untuk memperbaiki kembali adalah ilmu pengetahuan harus jatuh di tangan orang-orang yang bermoral.
Ah, ngeri juga kalau kata “sipakatau (saling memanusiakan) berubah menjadi “sipakadoi” (saling meng-uangkan) atau “sipakadongo” (saling membodohi/menipu).

Keseimbangan

Pemanasan global, dua kata yang sangat populer (walau akhir-akhir ini menjadi kurang populer karena bencana century) bukanlah sesuatu yang menakutkan, bahkan seharusnya memang begitu adanya , kalau pemanasan global tidak ada maka niscaya tidak akan ada kehidupan di dunia ini, dunia akan membeku. yang jadi masalah ketika pemanasan global jadi tidak terkendali, maka juga akan berbahaya seperti yang dikhawatirkan para ahli lingkungan. 

Seperti laut yang selalu berombak, karena ada perbedaan tekanan, sehingga udara bergerak menjadi angin yang bertiup menyebabkan nyiur melambai dan laut berombak, begitu pula sebaliknya sehingga pohon di gunung tak berani tumbuh tinggi dan besar, tak kuasa menahan badai (Seperti kata orang bijak, kalau tak tahan dihantam badai, jangan coba-coba tumbuh di atas gunung).

Di kota, masalah klasik adalah banjir. Kenapa banjir? Karena ada hujan, di gurun sana tidak pernah banjir karena tidak ada hujan, (jadi kalau tidak mau banjir, berdoa supaya tidak turun hujan hehe..) sesederhana itukah? debit air besar dan tidak ada resapan air, wajar karena hampir semua tanah di tanami beton dan aspal, pohon diganti papan reklame, aliran air tersumbat sampah, dan sebagainya.

Iya, alam selalu mencari bentuk keseimbangan , berjalan menurut keseimbangannya..
Jadi, masihkah kita mempersalahkan Alam dan Tuhan atas semua bencana yang sering terjadi, seakan akan Alam dan Tuhan begitu kejam? 

Begitu pula kehidupan manusia, selalu mencari titik keseimbangan, terkadang sedih, kadang senang, marah, bahagia, semua punya batas dan berotasi sampai akhir. Kalau tidak terjadi keseimbangan, maka akan muncul gejolak sampai mencapai titik tersebut.

Yang kaya terlalu kaya dan yang miskin terlalu miskin, yang daerah maju terlalu maju dan yang daerah tertinggal terlalu tertinggal. Kekayaan Alam dikeruk habis, dan dibawa entah kemana sementara penduduk di sekitarnya hanya kebagian dampak dan bencana yang timbul kemudian, juga bukanlah suatu bentuk keseimbangan..

Mungkin perlu untuk dipikirkan lagi............. kenapa di beberapa wilayah Indonesia, khususnya di bagian timur selau bergejolak? Mungkin sedang mencari bentuk keseimbangan...