Bayang-Bayang

Selasa, 27 September 2011

Ransel Tua dan Buku Usang..

Sumber Gambar:http://stevaniabb.blogspot.com
Dia datang seorang diri, lalu berdiri di perempatan jalan, sesekali tersenyum memandangi kendaraan yang lewat. Dengan kamera dia memotret beberapa orang yang asik berpose. Dia tak mengenal siapa mereka dan darimana, toh baginya itu tidak penting. Yang pasti dia telah sampai di kota yang selalu mengusik hatinya untuk datang. Kota yang membuatnya merasa nyaman.


Dipunggungnya bergantung ransel tua dengan beberapa buku usang di dalamnya. Terkadang terpikir olehnya untuk membuang saja buku-buku itu yang cukup membebani, tapi sayang juga, mungkin suatu saat bisa berguna, yah setidaknya mengusir rasa sepinya ketika menghujam bagai sembilu yang datangnya sering kali mendadak.


"Kemana kaki melangkah, kesitulah aku", gumannya pelan. Berlahan kakinya bergerak, beranjak menuju selatan. Langit cukup cerah, bulan dan bintang menghiasi cakrawala. Mungkin sebuah pertanda, alam semesta merestui langkanya.


Menjelang pagi dia telah berdiri di pantai, lama dia tertegun seorang diri memandangi deburan ombak. Tiba-tiba timbul gelora dalam hatinya, mungkin deburan obak merangsang pikirannya. Kemudian dia mengambil kertas dalam ranselnya dan mulai menulis, entah apa namanya, dia sendiri menganggapnya goresan.


Untukmu yang Tak Kukenal

Hari ini aku menatap karang dan ombak yang tidak pernah lelah bercengrama..
Menyaksikan air berbisik pada pasir..
Melihat karang yang setia berdiri kokoh..


Tahukah kau?
Karang itu tidak menantang ombak tapi membelainya dengan mesra agar menepi ke pantai dengan lembut..
dan, kuharap kau setabah karang di pantai selatan..


Dia melipat kertas di genggamannya dan memasukkan ke dalam ranselnya. Lalu tertegun, inilah laut yang selalu merendah, menampung segala, pikirnya. Tidak lama sang surya berlahan naik. Kakinya bergeser ke utara, dia ingin melihat tempat tinggi, disana bagaimana? Rasa penasaran merasukinya.


Beruntunglah masih ada yang bersedia memberi tumpangan dengan ramah seperti sewaktu menuju selatan. Sesampainya di Kaliurang, kiri-kanan masih terlihat dengan jelas sisa-sisa muntahan lahar, pohon-pohon tumbang dan rumah-rumah masih banyak berselimut debu.
Merapi tidak marah pikirnya, cuma mengeluarkan sebagian energinya yang terpendam untuk bisa tetap stabil. Dia tetap melangkahkan kakinya, karena yang dia dengar di perjalanan, Merapi sudah bisa di daki lagi.


Untuk mencapai ketinggian tidaklah mudah, jalanan yang menanjak cukup menguras energinya. Makin naik makin sunyi sepi, angin semakin kencang. Kakinya mulai lecet, sepatu tidak bisa menghindarkan semua masalah kaki, tapi setidaknya sangat membantu menghalangi goresan batuan tajam di perjalanan. Kadang terpikir olehnya untuk kembali, tapi toh tidak ada alasan yang cukup untuk itu, segala perbekalan dan peralatannya masih lengkap. Ah, semakin tinggi semakin banyak tantangannya jalannya pun makin berat, pikirnya, dan memang sudah begitulah hukum alam.


Menjelang senja dia duduk memandang langit. Senja yang sering membawa kesedihan diam-diam, entah mengapa dia pun tidak mengerti, banyak hal yang terasa namun tidak bisa di jelaskan, dan biarlah tetap menjadi misteri. Sepi seorang diri menatap senja kemerahan. Seolah sang surya enggan meninggalkan bumi yang bersedih. Dia lalu mengambil kertasnya dan kembali menulis.


Hujaman sepi memaksaku kembali menggoreskan tinta di buku usang,
karena kita "manusia" terkadang begitu cepat lupa..


Andaikan Kau Mau Menunggu Sebentar Saja..


Disini aku di gunung yang merenung,,hening..
Memandang dari ketinggian di tepi jurang..

Senja kali ini begitu syahdu..
Langit menguning kemerahan membawa kasih..
Sang surya dan bumi seolah enggan berpisah..

Tahukah kau?
Sang surya tak pernah ingkar janji untuk kembali esok..
dan kuharap kau sesetia bumi menunggu..


Kertas itu digenggamnnya erat-erat, hembusan angin memaksanya berpidah tempat dan menjauhi jurang yang terbuka. Kini dia bersandar di batu yang bisa melindungi tubuhnya dari angin. Tubuhnya mulai menggigil, dia kemudian mengambil dan memakai jaket, cukup untuk menahan suhu tubuhnya agar tidak terbawa angin. Lalu dia kembali menulis.


Angin itu hampir saja membawa pergi semua suhu badanku..
Terlalu lama duduk di tepi jurang yang terbuka,
Memandangi apa yang ada di bawah sana..
Aku terlalu terlena melihat keindahan..

Akh,,terkadang terselip rasa angkuh seolah pemilik segala..
Namun kuharap kau memandangnya dengan cara berbeda..


Tahukah kau?

Jurang itu seperti pujian, indah dan menyenangkan,
namun berlahan akan menjerumuskanmu dalam lembah yang sangat dalam..


Hmmm...

Tidak ada yang perlu kuceritakan terlalu banyak,
Karena ku yakin kau punya jejak dan cerita sendiri,
dengan pahit dan manisnya..


Dia berhenti menulis, lalu menarik nafas panjang. Kali ini dia menatap hamparan bintang yang entah berapa jumlahnya. Kopi dalam gelasnya tinggal ampas. Tidak terasa malam sudah larut, rasa kantuknya tiba-tiba datang. Dia pun beranjak tidur, dan berharap tidak bermimpi apa-apa. Besok dia akan kembali ke perempatan jalan, dengan ransel tua dan buku usang yang masih setia.