Bayang-Bayang

Jumat, 25 Maret 2011

Akulah Kebenaran?

Siapa kau?
dan dia berkata Akulah Ideologi..

Aku bisa jadi alasan halalnya darah tertumpah
dan sahnya perpisahan jiwa dari raga
lalu Aku berteriak dengan lantang, INILAH KEBENARAN..

Siapa kau?
Aku adalah Penguasa..

Aku bisa jadi pertanda kebenaran
dan sahnya segala tindakan serta pemilik ragamu
lalu Aku berkata, INILAH HUKUM..

Minggu, 13 Maret 2011

Manusia dan Ilmu Pengetahuan

Sumber gambar:http://proggieman.wordpress.com/2009/07/27/tentang-berfikir/
George Sarton dalam bukunya History of Science sebagaimana dikutip oleh Murthada Muttahari (Manusia dan Alam Semesta) pernah mengatakan bahwa" dibidang-bidang tertentu, ilmu pengetahuan berhasil membuat kemajuan yang hebat, namun dibidang-bidang yang lain yang berkaitan dengan hubungan antar ummat manusia, misalnya dibidang politik nasional dan internasional, kita masih menertawakan diri kita".

Tak bisa dipungkiri bahwa kemajuan ilmu pengetahuan telah membawa kemudahan-kemudahan dan kesenagan bagi ummat manusia. Sebuah perkembangan otak yang luar biasa. Kemajuan pesat diberbagai bidang yang hanya menghiasi imajinasi dalam mitos-mitos bahkan mungkin tidak pernah terbayangkan ratusan tahun silam kini menjadi hal yang sangat biasa. Ketika saya mengatakan bahwa dari Makassar ke Jogja cuma butuh sejam lebih, ataukah teman di Makassar mengatakan sedang berbicara dengan saya yang sedang berada di Jogja. Dalam ratusan tahun yang lalu mungkin akan dianggap lelucon dan dianggap sudah tidak waras, sekarang menjadi hal biasa dan jika ada yang masih heran, itulah yang akan jadi lelucon.

Dalam beberapa tahun kedepan, entahlah keajaiban apalagi yang akan terjadi, karena manusia terus berkembang dan ilmu pengetahuan tidak membatasi ojeknya kajiannya.


Namun, segala sesuatu yang positif cenderung diikuti dengan sisi negatifnya. Kemajuan ilmu pengetahuan juga menimbulkan ekspansi dari berbagai negara (terutama negara-negara Eropa), penjajahan, pembantaian manusia kemudian perang dunia demi harta dan kekuasaan. 

Sekarang ini, timbul gejolak di timur tengah akibat disparitas antara penguasa yang diktator dan rakyatnya yang melarat. Kesenjangan akan menimbulkan gejolak, penindasan dan ketikadilan oleh rezim yang korup, sementara rakyatnya hidup dalam belenggu kebebasan dan kemiskinan. Di dalam negeri sendiri, sejak merdeka sampai sekarang kekuasaan dengan menghalalkan segala cara, korupsi dan berbagai skandal lainnya masih menghiasi perjalanan bangsa ini. Memang segala kejahatan tidaklah mungkin hilang dari muka bumi ini sampai kiamat. Tapi setidaknya kejahatan tidak menjadi lebih dominan.

Uang, Kekuasaan dan Status sosial telah banyak mengganti kiblat manusia. Sebagaimana Erich Fromm dalam bukunya Psychoanalycis and Religion (dari sumber yang sama, Murthada Muttahari) mengatakan bahwa "tidak ada manusia yang tidak membutuhkan agama dan tidak menghendaki batas orientasinya dan subjek dari masa lalunya. Manusia sendiri boleh jadi tidak membedakan antara keyakinan religius dan keyakinan non religiusnya dan boleh jadi dirinya tidak beragama. Boleh jadi dia memandang fokusnya yang kelihatannya non religius seperti harta, tahta dan kesuksesan sebagai semata-mata isyarat perhatiannya kepada urusan praktis dan upaya untuk mewujudkan kesejahteraannya sendiri. Yang menjadi masalah bukanlah apakah manusia beragama atau tidak, melainkan apa agama yang dianutnya.

Sayang, kemajuan dalam hal material tidak diiringi dengan kemajuan spiritual. Ilmu pengetahuan dengan kenikmatan dan kenyamanan yang ditawarkannya membuat manusia cenderung memproyeksikan kebahagiaan lewat kesenangan (materi) sehingga arah ilmu pengetahuan lebih tertuju dalam mengejar materi. Kemanusiaan dan aspek lainnya kurang diperhatikan begitupula berbagai permasalahan lingkungan (bumi) yang terjadi dan semakin terasa dampaknya. 


Penting untuk kembali menyimak apa yang ungkapkan Einstein, "Mengapa ilmu yang sangat indah ini, yang menghemat kerja membikin hidup lebih mudah, hanya membawa kebahagiaan yang sedikit kepada kita? Jawabannya yang sederhana adalah – karena kita belum lagi belajar bagaimana menggunakannya secara wajar.

Dalam peperangan, ilmu menyebabkan kita saling meracun dan saling menjagal. Dalam perdamaian dia membikinperangan,membikin hidup kita dikejar waktu  dan penuh tak tentu. Ilmu yang seharusnya membebaskan kita dari pekerjaan yang melelahkan spiritual malah menjadikan manusia budak-budak mesin, dimana setelah hari-hari yang panjang dan monoton kebanyakan dari mereka pulang dengan rasa mual, dan harus terus gemetar untuk memperoleh ransum penghasilan yang tak seberapa. Kamu akan mengingat tentang seorang tua yang menyanyikan sebuah lagu yang jelek. Sayalah yang menyanyikan lagu itu, walau begitu, dengan sebuah itikad, untuk memperlihatkan sebuah akibat.
Adalah tidak cukup bahwa kamu memahami ilmu agar pekerjaanmu akan meningkatkan berkah manusia. Perhatian kepada manusia itu sendiri dan nasibnya harus selalu merupakan minat utama dari semua ikhtiar teknis, perhatian kepada masalah besar yang tak kunjung terpecahkan dari pengaturan kerja dan pemerataan benda agar buah ciptaan dari pemikiran kita akan merupakan berkah dan bukan kutukan terhadap kemanusiaan. Janganlah kau lupakan hal ini ditengah tumpukan diagram dan persamaan".

Yah, bukan maksudnya untuk memaki, mencela, apalagi mengutuk ilmu pengetahuan yang luar biasa, tapi bagaimana ilmu pengetahuan tidak menjadi kutukan, melainkan ilmu pengetahuan menjadi harmoni dengan kehidupan manusia serta kemanusiaan.


Kamis, 03 Maret 2011

Dia Bercerita tentang Kehidupannya

Sumber gambar: Google
Dia datang ketika aku masih tertidur, lalu dia pergi lagi dan kembali saat malam sudah menjelang. Siapakah dia? Itu tidak perlu kujelaskan, terlalu panjang dan berliku.

Tak seperti dia yang kukenal dulu saat berjumpa pertama kali di gunung Semeru, hampir tidak pernah serius dan sedikit gila-gila. Artinya tidak gila beneran, hanya kelihatan sedikit berbeda dari yang dikatakan orang kebanyakan sebagai orang normal. Namun aku tau kalau sebenarnya dia jauh lebih paham akan kehidupan dari orang yang sering dianggap normal.

Sambil memetik gitar tanpa mengeluarkan suara di mulutnya, aku menemuinya. Mencoba berbasa-basi. Diapun begitu, namun lambat laun alur mukanya kelihatan serius ketika dia mulai berbicara tentang kehidupannya.
"Aku hampir gila" begitulah dia memulai. "Aku bisa jadi kuli, tukang becak, pemulung, tapi aku tidak bisa jadi munafik! Ujarnya sekali lagi.

"Kenapa bisa? ada apa?, ujarku pura-pura mengerti.

"Aku manusia, walau tidak seperti orang kebanyakan. Aku cuma mau menjadi diri sendiri, aku tidak mau jadi orang lain. Orang tuaku menggambarkan tentang kehidupan, aku juga menggambarkan tentang kehidupan, tidak nyambung malah bertolak belakang. Ditarik jalan tengahnya justru hanya menimbulkan masalah baru. Aku tidak melawan, cuma aku tidak bisa menjalani kehidupannya. Aku memilih pergi. Aku akui aku berdosa dan aku akan belajar dari dosa-dosaku. Aku tidak bisa membohongi diriku sendiri".

Aku memilih diam, dan mencoba menjadi pendengar yang baik. Terkadang diam dan mendengarkan menjadi pilihan terbaik.

"Aku tahu aku dilahirkan oleh ibuku, aku tahu aku keluar dari rahimnya, dan surga ada ditelapak kakinya, aku di buat dan dibesarkan oleh keduanya, aku sangat berdosa berbicara tentang kehidupan di depan keduanya. Aku terlalu angkuh dan sombong. Tapi aku tidak bisa menjalani kehidupan yang mereka gambarkan, aku tidak mau jadi gila. Aku mau jadi orang sukses, kaya dan tentunya berguna bagi orang lain tapi dengan caraku sendiri. Apakah jika berbeda dengan orang lain terutama dikatakan orang terhormat lalu aku bukan manusia?
Aku tidak menyalahkan keduanya, yah, paradigma masyarakat memang terkadang kejam!

Tak perlu kujawab, karena dia segera melanjutkan perkataannya.

Aku tidak mengerti kehidupan yang dia inginkan, mereka pun tidak bisa memahami kehidupanku. Aku dianggap membuat malu bagi keluarga. Aku menyadari jalan pikirannya, tapi mereka tidak bisa memahami jalan pikiranku. Kemudian adikku datang dan langsung memaki-maki, aku merasa sangat marah, dia bukan adik yang baik, jika makiannya untuk menjadikanku lebih baik, menasehati aku bisa terima tapi makiannya benar-benar hanya untuk menambah penderitaanku, kenapa dia tidak bertanya sebelumnya apa maumu? apa masalahmu? Aku memilih pergi, untuk menjaga nama baik keluargaku sekaligus aku bisa menjalani kehidupanku sendiri. Aku merasa sangat berdosa.

"Setelah itu, aku mau dinikahkan dengan orang yang tidak kucintai, lalu bagaimana aku bisa membentuk keluarga sakinah, mawaddah, warahmah jika aku tidak mencintainya? Kalau cuma faktor biologis, apa bedanya kalau aku ketempat-tempat pelacuran? Belajar mencintainya? Apakah cinta bisa dipelajari?
Untuk nama baik keluarga, apakah demi nama baik aku harus jadi gila dan menjadi munafik seumur hidupku?

"Dikapal, dalam perjalanan kesini aku ceritakan hal ini kepada temanku, temanku bilang kalau dia aku ini benar, tapi menurut orang lain aku ini salah. Lalu dimanakah kebenaran itu? Apakah kebenaran itu, bagaimana memperolehnya? Lalu dimana letak absolutnya? Kebenaran itu mau diapakan? Bagaimana menjalaninya?

"Aku mengakui aku salah, aku berdosa, sangat berdosa. Aku bukan pecundang yang tidak mau mengakui kesalahannya!

Kemudian dia terdiam agak lama, ketegangan nampak diwajahnya. Walau begitu nampak jelas kepuasan dalam dirinya setelah menumpahkan segala isi hatinya. Aku tak bisa berkata apa-apa, ini bukan wilayahku, aku tak bisa dan tak mau mencampuri urusan keluarganya, dia jauh lebih tua dariku. Dia cukup sadar dan dewasa untuk memilih jalan hidupnya.
Aku pamit menuju kamar, aku sengaja membiarkannya sendiri. biasanya beban yang sudah ditumpahkan butuh suasana sepi dan sendiri.

Namun kata-katanya masih terngiang dikepalaku ketika mencoba tidur dikasur yang tak lagi empuk, terutama
kata-katanya,
Aku akui aku berdosa dan aku akan belajar dari dosa-dosaku. Aku bukan pecundang yang tidak mau mengakui kesalahannya! Aku cuma tidak mau JADI MUNAFIK!

Esoknya aku terbangun, dia sudah pergi lagi..