Bayang-Bayang

Kamis, 03 Maret 2011

Dia Bercerita tentang Kehidupannya

Sumber gambar: Google
Dia datang ketika aku masih tertidur, lalu dia pergi lagi dan kembali saat malam sudah menjelang. Siapakah dia? Itu tidak perlu kujelaskan, terlalu panjang dan berliku.

Tak seperti dia yang kukenal dulu saat berjumpa pertama kali di gunung Semeru, hampir tidak pernah serius dan sedikit gila-gila. Artinya tidak gila beneran, hanya kelihatan sedikit berbeda dari yang dikatakan orang kebanyakan sebagai orang normal. Namun aku tau kalau sebenarnya dia jauh lebih paham akan kehidupan dari orang yang sering dianggap normal.

Sambil memetik gitar tanpa mengeluarkan suara di mulutnya, aku menemuinya. Mencoba berbasa-basi. Diapun begitu, namun lambat laun alur mukanya kelihatan serius ketika dia mulai berbicara tentang kehidupannya.
"Aku hampir gila" begitulah dia memulai. "Aku bisa jadi kuli, tukang becak, pemulung, tapi aku tidak bisa jadi munafik! Ujarnya sekali lagi.

"Kenapa bisa? ada apa?, ujarku pura-pura mengerti.

"Aku manusia, walau tidak seperti orang kebanyakan. Aku cuma mau menjadi diri sendiri, aku tidak mau jadi orang lain. Orang tuaku menggambarkan tentang kehidupan, aku juga menggambarkan tentang kehidupan, tidak nyambung malah bertolak belakang. Ditarik jalan tengahnya justru hanya menimbulkan masalah baru. Aku tidak melawan, cuma aku tidak bisa menjalani kehidupannya. Aku memilih pergi. Aku akui aku berdosa dan aku akan belajar dari dosa-dosaku. Aku tidak bisa membohongi diriku sendiri".

Aku memilih diam, dan mencoba menjadi pendengar yang baik. Terkadang diam dan mendengarkan menjadi pilihan terbaik.

"Aku tahu aku dilahirkan oleh ibuku, aku tahu aku keluar dari rahimnya, dan surga ada ditelapak kakinya, aku di buat dan dibesarkan oleh keduanya, aku sangat berdosa berbicara tentang kehidupan di depan keduanya. Aku terlalu angkuh dan sombong. Tapi aku tidak bisa menjalani kehidupan yang mereka gambarkan, aku tidak mau jadi gila. Aku mau jadi orang sukses, kaya dan tentunya berguna bagi orang lain tapi dengan caraku sendiri. Apakah jika berbeda dengan orang lain terutama dikatakan orang terhormat lalu aku bukan manusia?
Aku tidak menyalahkan keduanya, yah, paradigma masyarakat memang terkadang kejam!

Tak perlu kujawab, karena dia segera melanjutkan perkataannya.

Aku tidak mengerti kehidupan yang dia inginkan, mereka pun tidak bisa memahami kehidupanku. Aku dianggap membuat malu bagi keluarga. Aku menyadari jalan pikirannya, tapi mereka tidak bisa memahami jalan pikiranku. Kemudian adikku datang dan langsung memaki-maki, aku merasa sangat marah, dia bukan adik yang baik, jika makiannya untuk menjadikanku lebih baik, menasehati aku bisa terima tapi makiannya benar-benar hanya untuk menambah penderitaanku, kenapa dia tidak bertanya sebelumnya apa maumu? apa masalahmu? Aku memilih pergi, untuk menjaga nama baik keluargaku sekaligus aku bisa menjalani kehidupanku sendiri. Aku merasa sangat berdosa.

"Setelah itu, aku mau dinikahkan dengan orang yang tidak kucintai, lalu bagaimana aku bisa membentuk keluarga sakinah, mawaddah, warahmah jika aku tidak mencintainya? Kalau cuma faktor biologis, apa bedanya kalau aku ketempat-tempat pelacuran? Belajar mencintainya? Apakah cinta bisa dipelajari?
Untuk nama baik keluarga, apakah demi nama baik aku harus jadi gila dan menjadi munafik seumur hidupku?

"Dikapal, dalam perjalanan kesini aku ceritakan hal ini kepada temanku, temanku bilang kalau dia aku ini benar, tapi menurut orang lain aku ini salah. Lalu dimanakah kebenaran itu? Apakah kebenaran itu, bagaimana memperolehnya? Lalu dimana letak absolutnya? Kebenaran itu mau diapakan? Bagaimana menjalaninya?

"Aku mengakui aku salah, aku berdosa, sangat berdosa. Aku bukan pecundang yang tidak mau mengakui kesalahannya!

Kemudian dia terdiam agak lama, ketegangan nampak diwajahnya. Walau begitu nampak jelas kepuasan dalam dirinya setelah menumpahkan segala isi hatinya. Aku tak bisa berkata apa-apa, ini bukan wilayahku, aku tak bisa dan tak mau mencampuri urusan keluarganya, dia jauh lebih tua dariku. Dia cukup sadar dan dewasa untuk memilih jalan hidupnya.
Aku pamit menuju kamar, aku sengaja membiarkannya sendiri. biasanya beban yang sudah ditumpahkan butuh suasana sepi dan sendiri.

Namun kata-katanya masih terngiang dikepalaku ketika mencoba tidur dikasur yang tak lagi empuk, terutama
kata-katanya,
Aku akui aku berdosa dan aku akan belajar dari dosa-dosaku. Aku bukan pecundang yang tidak mau mengakui kesalahannya! Aku cuma tidak mau JADI MUNAFIK!

Esoknya aku terbangun, dia sudah pergi lagi..

Tidak ada komentar: