Bayang-Bayang

Senin, 31 Oktober 2011

Sore Itu di Perempatan Jalan..

Sumber Gambar: Google
Pagi itu langit cerah, sinar mentari mengintip di celah-celah kaca jendela. Langit tidak seperti biasanya, tidak ada awan yang bergelantungan mengihiasi cakrawala. Tak terasa matahari mulai meninggi, bergegaslah dia melakukan rutinitas pagi (mandi dan gosok gigi). 


Sembari berpakaian, sesekali dia melirik jam penanda sang waktu tergantung di dinding yang menutupi lubang bekas paku. 07.37 tertunjuk pada jarum pendek jam tersebut. Tanpa bercermin dia lalu mengambil tas kecil yang didalamnya sudah terdapat beberapa buah buku. Hari itu dia mau mengikuti seminar yang diadakan di kampusnya. di undangan tertulis "acara dimulai pukul 08.30".


Sesampainya di tempat seminar, ternyata acara belum dimulai, dia memilih duduk di tangga dekat tempok yang agak sepi sambil menghempaskan nikotin bercampur asap ke udara setelah melewati paru-parunya. Seorang laki-laki paruh baya mendekatinya dan meminta korek. Yah, sesama penikmat asap biasanya saling mendekati.


"belum mulai yah dek? ucap laki-laki paruh baya itu memulai percakapan.
"belum pak, mungkin sebentar lagi".
"dari instansi mana dek?
"masih kuliah pak, belum kerja" guman dia pelan..Status mahasiswa memang menyenangkan, selalu banyak alasan yang bisa dimunculkan dan titel ini bisa jadi tameng yang ampuh.


Tidak lama panggilan pun terdengar agar memsuki ruangan. Percakapan itu terhenti. Dia dan laki-laki paruh baya tersebut memasuki ruangan tetapi mengambil tempat duduk yang berbeda jarak.


Seminar yang bertemakan pancasila dan konstitusi negara ini agak lain dari biasanya. Biasanya di penuhi orang-orang tua yang beruban kini mulai nampak yang muda-muda. Sejenak matanya dia arahkan ke sekeliling ruangan lalu terhenti. Sesuatu yang lembut dan bening nampak di sudut ruangan yang berjenis kelamin lain. Tanpa dia sadari, perhatiannya lebih tertuju ke sudut ruangan itu, mungkin sudah bosan dengan semua teori-teori yang membosangkan. Dan yang di sudut itu pun sangat menyadari kelebihannya fisiknya yang lagi asik menjadi pembicara ke teman-teman sekitarnya tanpa sekali pun memperhatikan narasumber sesungguhnya. Mungkin seminar lagi ngetren atau sekedar memenuhi kuota sertifikat.


Kini pendengarannya dipenuhi kata-kata syurga, ketuhanan, keadilan, kemanusiaan menggema di ruangan itu, perdebatan sesekali terdengar, ada yang optimis ada yang pesimis, kritik, saran dan macam-macamnya, toh itulah demokrasi pikirnya. Yah, demokrasi itu akan selalu menjadi riuh, semua berhak berpendapat bahkan menhujat pun tak lagi bisa dibedakan dengan mengkritik. 


Seperti seminar-seminar yang lain, tumpukan makalah, pembicara yang rapi dan peserta yang kadang ributnya melebihi pembicara, menjadi hal yang biasa. Tumpukan kertas dan kata-kata yang indah melayang-layang, dan biasanya berakhir pula begitu acara berakhir. Seperti obrolan di warung kopi yang berakhir ketika kopi telah tandas.


Waktu dari pagi hingga sore, dipenuhi kata-kata begitu melelahkan walaupun sempat istirahat waktu ishoma.
15.00 tertunjuk di jam dinding ruangan itu. Waktu adalah pertanda. Artinya 15.00 seminar itu berakhir, dia pun bergegas mengambil motor buntutnya, tidak sabar lagi untuk kembali. 
Tepat di depan tempat seminar tadi ada perempatan lampu merah, dia pun berhenti ketika lampu merah menyala, mungkin takut kena tilang. Warna adalah isyarat!


Masih terngiang di telinganya tentang ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial di telinganya. Maklum, kata-kata tadi sering sekali di ulang-ulang bahkan dari SD sampai SMA tiap hari senin di bacakan. Tiba-tiba ada yang menyentuh lengannya dan di telinganya terdengar kata-kata "pak-pak tolong beri sedikit bantuan pak,". Dia pun menoleh dan melihat seorang pengemis tua menggendong anaknya  meminta belas kasihan.


Lampu merah berganti hijau, sekali lagi warna adalah isyarat walau semua warna dasarnya sama saja. Dia lalu memutar gas motornya, berbelok ke kanan menuju pulang.



Selasa, 27 September 2011

Ransel Tua dan Buku Usang..

Sumber Gambar:http://stevaniabb.blogspot.com
Dia datang seorang diri, lalu berdiri di perempatan jalan, sesekali tersenyum memandangi kendaraan yang lewat. Dengan kamera dia memotret beberapa orang yang asik berpose. Dia tak mengenal siapa mereka dan darimana, toh baginya itu tidak penting. Yang pasti dia telah sampai di kota yang selalu mengusik hatinya untuk datang. Kota yang membuatnya merasa nyaman.


Dipunggungnya bergantung ransel tua dengan beberapa buku usang di dalamnya. Terkadang terpikir olehnya untuk membuang saja buku-buku itu yang cukup membebani, tapi sayang juga, mungkin suatu saat bisa berguna, yah setidaknya mengusir rasa sepinya ketika menghujam bagai sembilu yang datangnya sering kali mendadak.


"Kemana kaki melangkah, kesitulah aku", gumannya pelan. Berlahan kakinya bergerak, beranjak menuju selatan. Langit cukup cerah, bulan dan bintang menghiasi cakrawala. Mungkin sebuah pertanda, alam semesta merestui langkanya.


Menjelang pagi dia telah berdiri di pantai, lama dia tertegun seorang diri memandangi deburan ombak. Tiba-tiba timbul gelora dalam hatinya, mungkin deburan obak merangsang pikirannya. Kemudian dia mengambil kertas dalam ranselnya dan mulai menulis, entah apa namanya, dia sendiri menganggapnya goresan.


Untukmu yang Tak Kukenal

Hari ini aku menatap karang dan ombak yang tidak pernah lelah bercengrama..
Menyaksikan air berbisik pada pasir..
Melihat karang yang setia berdiri kokoh..


Tahukah kau?
Karang itu tidak menantang ombak tapi membelainya dengan mesra agar menepi ke pantai dengan lembut..
dan, kuharap kau setabah karang di pantai selatan..


Dia melipat kertas di genggamannya dan memasukkan ke dalam ranselnya. Lalu tertegun, inilah laut yang selalu merendah, menampung segala, pikirnya. Tidak lama sang surya berlahan naik. Kakinya bergeser ke utara, dia ingin melihat tempat tinggi, disana bagaimana? Rasa penasaran merasukinya.


Beruntunglah masih ada yang bersedia memberi tumpangan dengan ramah seperti sewaktu menuju selatan. Sesampainya di Kaliurang, kiri-kanan masih terlihat dengan jelas sisa-sisa muntahan lahar, pohon-pohon tumbang dan rumah-rumah masih banyak berselimut debu.
Merapi tidak marah pikirnya, cuma mengeluarkan sebagian energinya yang terpendam untuk bisa tetap stabil. Dia tetap melangkahkan kakinya, karena yang dia dengar di perjalanan, Merapi sudah bisa di daki lagi.


Untuk mencapai ketinggian tidaklah mudah, jalanan yang menanjak cukup menguras energinya. Makin naik makin sunyi sepi, angin semakin kencang. Kakinya mulai lecet, sepatu tidak bisa menghindarkan semua masalah kaki, tapi setidaknya sangat membantu menghalangi goresan batuan tajam di perjalanan. Kadang terpikir olehnya untuk kembali, tapi toh tidak ada alasan yang cukup untuk itu, segala perbekalan dan peralatannya masih lengkap. Ah, semakin tinggi semakin banyak tantangannya jalannya pun makin berat, pikirnya, dan memang sudah begitulah hukum alam.


Menjelang senja dia duduk memandang langit. Senja yang sering membawa kesedihan diam-diam, entah mengapa dia pun tidak mengerti, banyak hal yang terasa namun tidak bisa di jelaskan, dan biarlah tetap menjadi misteri. Sepi seorang diri menatap senja kemerahan. Seolah sang surya enggan meninggalkan bumi yang bersedih. Dia lalu mengambil kertasnya dan kembali menulis.


Hujaman sepi memaksaku kembali menggoreskan tinta di buku usang,
karena kita "manusia" terkadang begitu cepat lupa..


Andaikan Kau Mau Menunggu Sebentar Saja..


Disini aku di gunung yang merenung,,hening..
Memandang dari ketinggian di tepi jurang..

Senja kali ini begitu syahdu..
Langit menguning kemerahan membawa kasih..
Sang surya dan bumi seolah enggan berpisah..

Tahukah kau?
Sang surya tak pernah ingkar janji untuk kembali esok..
dan kuharap kau sesetia bumi menunggu..


Kertas itu digenggamnnya erat-erat, hembusan angin memaksanya berpidah tempat dan menjauhi jurang yang terbuka. Kini dia bersandar di batu yang bisa melindungi tubuhnya dari angin. Tubuhnya mulai menggigil, dia kemudian mengambil dan memakai jaket, cukup untuk menahan suhu tubuhnya agar tidak terbawa angin. Lalu dia kembali menulis.


Angin itu hampir saja membawa pergi semua suhu badanku..
Terlalu lama duduk di tepi jurang yang terbuka,
Memandangi apa yang ada di bawah sana..
Aku terlalu terlena melihat keindahan..

Akh,,terkadang terselip rasa angkuh seolah pemilik segala..
Namun kuharap kau memandangnya dengan cara berbeda..


Tahukah kau?

Jurang itu seperti pujian, indah dan menyenangkan,
namun berlahan akan menjerumuskanmu dalam lembah yang sangat dalam..


Hmmm...

Tidak ada yang perlu kuceritakan terlalu banyak,
Karena ku yakin kau punya jejak dan cerita sendiri,
dengan pahit dan manisnya..


Dia berhenti menulis, lalu menarik nafas panjang. Kali ini dia menatap hamparan bintang yang entah berapa jumlahnya. Kopi dalam gelasnya tinggal ampas. Tidak terasa malam sudah larut, rasa kantuknya tiba-tiba datang. Dia pun beranjak tidur, dan berharap tidak bermimpi apa-apa. Besok dia akan kembali ke perempatan jalan, dengan ransel tua dan buku usang yang masih setia.




Senin, 08 Agustus 2011

Badai dan Elang..

Sumber gambar: http://dollywildan.wordpress.com

"biasanya kalau mendaki gunung es gitu la', puncak sudah di depan mata tiba-tiba cuaca berubah, badai, yah kita harus turun ke camp dan kembali mencoba esoknya". Begitulah kata-kata seorang teman yang sudah beberapakali mendaki gunung salju saat berjalan menuju puncak salah satu gunung di negeri ini.

Tebayang bagimana beratnya untuk kembali memulai dari awal ketika segalanya sudah berada di depan mata, tapi begitulah badai, tak memandang apa,bagaimana dan siapa.

Pernah pula seorang dosen yang bergelar guru besar bercerita tentang perjuangannya sewaktu mengambil program Doktor (S3). Ketika desertasinya hampir rampung dan tidak lama lagi akan ujian, tiba-tiba Undang-Undang (UU) yang dibahas didalam desertasinya tersebut diubah dan semua rekomendasi yang ada dalam desertasinya sama/sudah tertuang dalam UU tersebut. Artinya usahanya selama hampir 5 tahun harus beliau ulangi dan memulai lagi menyusun desertasi dari awal. Mungkin inilah yang disebut badai kampus :).

Memang kedengarannya berat dan lebih berat lagi jika mengalaminya sendiri. Ah, dipikirkan saja berat bagaimana mengalaminya?

Cerita diatas kembali teringat ketika membaca tulisan yang menarik dari Eileen Rachman dan Sylviana Savitri dalam Kompas Klasika (6/8/2011) yang berjudul "Mentalitas Elang" tentang badai yang melanda pekerjaan/karir, ketika seseorang yang karirnya sudah mulai menanjak tiba-tiba dibebastugaskan dari posisinya dan setelah beberapa bulan kemudian baru di beri penugasan baru ia siap dengan sikap mental yang lebih rendah hati tetapi semangat yang berlipat ganda seperti mentalitas elang. Bahwa seekor elang pada saat merasa bahwa bulu-bulunya tidak kuat lagi, maka ia akan berdiri tegak disebuah batu karang tempat angin bertiup kencang merontokkan bulu-bulunya. sesudah itu dia akan bersembunyi diantara batu-batu dan menunggu sampai bulu baru tumbuh kembali. Bagaimana elang justru bisa memanfaatkan badai.


Badai memang tidak hanya terjadi di gunung, bisa terjadi kapan saja dan dimana saja. Dalam kehidupan sehari-haripun kita sering mengalaminya entah itu dimana walau berbeda bentuk dan seringkali pula tidak disadari. Bukankah di gunung, di pantai, tebing, sungai, gua dan dimana saja adalah bagian dari hidup itu sendiri?

Seperti kata-kata "badai pasti berlalu", apakah memanfaatka badai sebelum berlalu dan memulai kembali dengan semangat yang lebih? Asal jangan ikut berlalu bersamanya..

Rabu, 03 Agustus 2011

Sederhana Saja..

Dari huruf-huruf yang engkau rangkai satu-satu
menjadi kata-kata lalu menjelma dalam bait-bait..tuturmu lugas dalam kalimat-kalimat kemudian menjadi bab-bab dalam helai-helai kertas putih yang tipis..

aku mencintai kebebasanmu dalam tiap huruf yang tergores..aku menggilai bibirmu yang bergerak lirih dalam setiap nada yang terucap..

aku mencintai kepolosanmu menertawakan kemunafikan, aku merindukan caramu tanpa polesan yang memuakkan itu..

sederhana saja seperti angin yang yang bertiup, sejuk lalu pergi..menggerakkan rumput-rumput, menggugurkan dedaunan tua..

sederhana saja seperti huruf-huruf dari tinta murahan dalam gulungan kertas putih yang terbuang di pinggir selokan..

aku mencintai sajak-sajakmu, yang tanpa akhir..segala tentangmu..

Senin, 18 Juli 2011

Setia (janji)








huruf-huruf itu teruntai malu-malu
menjelma menjadi sajak nan syahdu
laksana air, menguap menjadi hujan
sejuk mengalir, menumbuhkan hutan-hutan

lalu...

huruf-huruf itu teruntai asal-asalan
menjelma menjadi kata tak bertuan
laksana angin, membelai sambil berlalu
sejuk berhembus, meninggalkan sembilu-pilur-pilu

lalu...
sampai kapan kau setia?
........................................................................


(sumber gambar:http://cameliabackrie.wordpress.com/about/goresan-tangan/ )

Minggu, 17 Juli 2011

Cermin (masihkah kau ingkar?)

Kau cairan kental, berjuang menembus liang gelap diantara jutaan pesaingmu, mengoyak dinding-dinding rapuh. Mendekam berbulan-bulan, berlindung dalam daging kasih sayang yang kelak akan kau dustai, menunggu Sang pemilik waktu meniupkan kehidupan..

Kau yang tak mengerti apa-apa, entah meratap atau mencibir dalam erangang keluar kekeluasan misteri. Tak ada sama, tak ada beda. Suci dari segala, tak peduli kau dari tempat siapa, dimana, oleh siapa, dan terjadi dengan cara bagaimana..

Kau yang tanpa beban, dipaksa berdiri didandani di depan cermin. Bermain, menagis, dan tertawa. Menari leluasa penuh keindahan direlung irama waktumu. Tak paham apa-apa, tak mengerti apa-apa. Bagimu dunia adalah duniamu.

Kau yang mulai menyisir rambutmu di depan cermin, sesekali mengubah mode sesuai trend, mulai melirik nakal kesana-kemari. Berharap secepatnya meninggalkan apa yang akan kau ratapi kelak untuk kembali. Ingin menjadi apa yang belum waktumu, apa yang kelak akan kau pahami..

Kau yang menatap cermin agak lama, sesekali mengetes suaramu yang terdengar sumbang. Langitpun menggantung diatasmu. Semua seolah dalam genggaman, memberontak mengikuti adrenalin, mengejar jiwamu yang berlari..

Kau yang bingung mengamati kerutan-kerutan di cermin, tak percaya, semua begitu cepat terasa. Dunia seakan sangat sempit. Mencoba bijak, terkadang penuh kepalsuan. Penuh beban, berharap kembali kekeluguan jiwamu..

Kau yang tak lagi kekar memandang dalam tanah kering di halaman rumahmu. Terpaku lama di depan cermin usang, yang tergantung lesuh di dinding rapuh. Mengingat kembali yang tak bisa kau ulang. Entahlah, apakah bahagia atau resah, di terminal kepastian yang tak jelas waktu datangnya, menunggu kembali..

Cermin (masihkah kau ingkar?)

Selasa, 07 Juni 2011

Jalan Lain..

Kita mencintai yang sama, kita menginginkan hal yg sama,tak ada pecundang apalagi pemenang. 
Tapi jika tak bisa jalan bersama maaf jika ada yang memiih jalan sendiri..

Kita menuju ke tempat yang sama tapi jalan terkadang berbeda.
Satu jalan menutup banyak hal. satu jalan tak memberi banyak ruang.
Tak ada yang lebih tak ada yang kurang tak ada yang lebih unggul dari semua.
Semua tercipta dari yang sama, semua diatur oleh yang sama..

Berbeda..cara kadang berbeda, ada yang memilih caranya sendiri.
Tak perlu kau menghakimi cara lain. Cukuplah kau bertanya jika itu perlu.
Memilih cara yang umum atau memilih cara yang tak biasa, tak perlu kau risau. 

Jalan itu terhampar dan bercabang, tapi memang diciptakan begitu.
dan ada jalan terkadang jarang dilalui.
Tak biasa, terjal dan sunyi.
Sepi, jauh dari hingar bingar..

Namun tujuan kita tetap sama.
dan berjalan di bumi yang satu..

Sabtu, 21 Mei 2011

Jangan Hempaskan Resahmu Di Gunung...

Jangan salahkan ombak di laut
Jangan sesalkan gelapnya goa
Jangan membendung arus sungai
Jangan mengutuk kerasnya tebing
Jangan mengeluhkan badai di gunung

Kau tak memiliki apa-apa
Kau tak memberi apa-apa
Kau tak menanamkan apa-apa
Kau tak meninggalkan apa-apa
Kau tak mengubah apa-apa

Kau yang terabaikan
Kau yang terbuang
Kau yang tertinggal
Kau yang terlupakan

Jangan hempaskan resahmu di gunung

Dua Puluh Lima...

Banyak cerita yang tersisa dari suatu perjalanan, serpihan-serpihan yang terangkai dan akan terus mencari wujud hingga mencapai keutuhannya, Kesempurnaan. Ada jarak yang terlewati dalam sekat-sekat, ada waktu yang mengingatkan akan batasan-batasan ruang.

Waktu tak berputar, kawan. Waktu bergerak maju dan punya titik akhir. Waktu menegaskan jarak, tidak bergerak dalam sebuah putaran. Cukup hanya meninggalkan banyak cerita, dan membangun wujud. Tak ada ruang lagi untuk sekedar mengulang. Sekat-sekat "andai" tertinggal berbekas jadi kenang. 

Ah, jalan itu membentang, bergerak meninggalkan titik awal, jauh, semakin menjauh. Kemanapun arahnya tetap sama, kelak akan berujung nanti. Banyak, sangat banyak serpihan cerita dalam tiap sekat-sekat yang terlewati. Semua berbeda, tujuannya satu, membentuk wujud menjadi rangkaian yang utuh suatukala, tepat diujung jalan.

Diamanakah letak batas itu? Dimana jalan akan berujung? Ketika ruang dan waktu menjadi hampa, jarak dan sekat-sekat menjadi tiada. Menjadi utuh dalam wujud yang sempurna. Misteri yang tak berada dalam duga dan kira sang pejalan,Semua otoritas dan kehendak tergantung pada yang Tunggal.

Ada banyak jalan, ada banyak pilihan, ada banyak cara. Semua punya warna sendiri. Semua berbeda untuk wujud yang besar. Semua milik yang sama. Semua punya jalan masing-masing, semua punya tujuan, semua punya cerita, namun semua digariskan oleh tangan yang sama.


Dimensi,,,antara hakikat dan hasrat. Tujuan dan bayang-bayang. Asa dan usaha. Eksistensi, realitas dan ketiadaan. Terima kasih untuk-MU atas semua, untuk jalan ini, telah memberi kesempatan bercerita dalam misteri ruang dan waktu-MU. Semoga jalan itu masih panjang, dan mengisahkan cerita yang berarti, menuntun dengan cara berbeda dalam warna yang Engkau kehendaki......


21 Mei 2011

Jumat, 25 Maret 2011

Akulah Kebenaran?

Siapa kau?
dan dia berkata Akulah Ideologi..

Aku bisa jadi alasan halalnya darah tertumpah
dan sahnya perpisahan jiwa dari raga
lalu Aku berteriak dengan lantang, INILAH KEBENARAN..

Siapa kau?
Aku adalah Penguasa..

Aku bisa jadi pertanda kebenaran
dan sahnya segala tindakan serta pemilik ragamu
lalu Aku berkata, INILAH HUKUM..

Minggu, 13 Maret 2011

Manusia dan Ilmu Pengetahuan

Sumber gambar:http://proggieman.wordpress.com/2009/07/27/tentang-berfikir/
George Sarton dalam bukunya History of Science sebagaimana dikutip oleh Murthada Muttahari (Manusia dan Alam Semesta) pernah mengatakan bahwa" dibidang-bidang tertentu, ilmu pengetahuan berhasil membuat kemajuan yang hebat, namun dibidang-bidang yang lain yang berkaitan dengan hubungan antar ummat manusia, misalnya dibidang politik nasional dan internasional, kita masih menertawakan diri kita".

Tak bisa dipungkiri bahwa kemajuan ilmu pengetahuan telah membawa kemudahan-kemudahan dan kesenagan bagi ummat manusia. Sebuah perkembangan otak yang luar biasa. Kemajuan pesat diberbagai bidang yang hanya menghiasi imajinasi dalam mitos-mitos bahkan mungkin tidak pernah terbayangkan ratusan tahun silam kini menjadi hal yang sangat biasa. Ketika saya mengatakan bahwa dari Makassar ke Jogja cuma butuh sejam lebih, ataukah teman di Makassar mengatakan sedang berbicara dengan saya yang sedang berada di Jogja. Dalam ratusan tahun yang lalu mungkin akan dianggap lelucon dan dianggap sudah tidak waras, sekarang menjadi hal biasa dan jika ada yang masih heran, itulah yang akan jadi lelucon.

Dalam beberapa tahun kedepan, entahlah keajaiban apalagi yang akan terjadi, karena manusia terus berkembang dan ilmu pengetahuan tidak membatasi ojeknya kajiannya.


Namun, segala sesuatu yang positif cenderung diikuti dengan sisi negatifnya. Kemajuan ilmu pengetahuan juga menimbulkan ekspansi dari berbagai negara (terutama negara-negara Eropa), penjajahan, pembantaian manusia kemudian perang dunia demi harta dan kekuasaan. 

Sekarang ini, timbul gejolak di timur tengah akibat disparitas antara penguasa yang diktator dan rakyatnya yang melarat. Kesenjangan akan menimbulkan gejolak, penindasan dan ketikadilan oleh rezim yang korup, sementara rakyatnya hidup dalam belenggu kebebasan dan kemiskinan. Di dalam negeri sendiri, sejak merdeka sampai sekarang kekuasaan dengan menghalalkan segala cara, korupsi dan berbagai skandal lainnya masih menghiasi perjalanan bangsa ini. Memang segala kejahatan tidaklah mungkin hilang dari muka bumi ini sampai kiamat. Tapi setidaknya kejahatan tidak menjadi lebih dominan.

Uang, Kekuasaan dan Status sosial telah banyak mengganti kiblat manusia. Sebagaimana Erich Fromm dalam bukunya Psychoanalycis and Religion (dari sumber yang sama, Murthada Muttahari) mengatakan bahwa "tidak ada manusia yang tidak membutuhkan agama dan tidak menghendaki batas orientasinya dan subjek dari masa lalunya. Manusia sendiri boleh jadi tidak membedakan antara keyakinan religius dan keyakinan non religiusnya dan boleh jadi dirinya tidak beragama. Boleh jadi dia memandang fokusnya yang kelihatannya non religius seperti harta, tahta dan kesuksesan sebagai semata-mata isyarat perhatiannya kepada urusan praktis dan upaya untuk mewujudkan kesejahteraannya sendiri. Yang menjadi masalah bukanlah apakah manusia beragama atau tidak, melainkan apa agama yang dianutnya.

Sayang, kemajuan dalam hal material tidak diiringi dengan kemajuan spiritual. Ilmu pengetahuan dengan kenikmatan dan kenyamanan yang ditawarkannya membuat manusia cenderung memproyeksikan kebahagiaan lewat kesenangan (materi) sehingga arah ilmu pengetahuan lebih tertuju dalam mengejar materi. Kemanusiaan dan aspek lainnya kurang diperhatikan begitupula berbagai permasalahan lingkungan (bumi) yang terjadi dan semakin terasa dampaknya. 


Penting untuk kembali menyimak apa yang ungkapkan Einstein, "Mengapa ilmu yang sangat indah ini, yang menghemat kerja membikin hidup lebih mudah, hanya membawa kebahagiaan yang sedikit kepada kita? Jawabannya yang sederhana adalah – karena kita belum lagi belajar bagaimana menggunakannya secara wajar.

Dalam peperangan, ilmu menyebabkan kita saling meracun dan saling menjagal. Dalam perdamaian dia membikinperangan,membikin hidup kita dikejar waktu  dan penuh tak tentu. Ilmu yang seharusnya membebaskan kita dari pekerjaan yang melelahkan spiritual malah menjadikan manusia budak-budak mesin, dimana setelah hari-hari yang panjang dan monoton kebanyakan dari mereka pulang dengan rasa mual, dan harus terus gemetar untuk memperoleh ransum penghasilan yang tak seberapa. Kamu akan mengingat tentang seorang tua yang menyanyikan sebuah lagu yang jelek. Sayalah yang menyanyikan lagu itu, walau begitu, dengan sebuah itikad, untuk memperlihatkan sebuah akibat.
Adalah tidak cukup bahwa kamu memahami ilmu agar pekerjaanmu akan meningkatkan berkah manusia. Perhatian kepada manusia itu sendiri dan nasibnya harus selalu merupakan minat utama dari semua ikhtiar teknis, perhatian kepada masalah besar yang tak kunjung terpecahkan dari pengaturan kerja dan pemerataan benda agar buah ciptaan dari pemikiran kita akan merupakan berkah dan bukan kutukan terhadap kemanusiaan. Janganlah kau lupakan hal ini ditengah tumpukan diagram dan persamaan".

Yah, bukan maksudnya untuk memaki, mencela, apalagi mengutuk ilmu pengetahuan yang luar biasa, tapi bagaimana ilmu pengetahuan tidak menjadi kutukan, melainkan ilmu pengetahuan menjadi harmoni dengan kehidupan manusia serta kemanusiaan.


Kamis, 03 Maret 2011

Dia Bercerita tentang Kehidupannya

Sumber gambar: Google
Dia datang ketika aku masih tertidur, lalu dia pergi lagi dan kembali saat malam sudah menjelang. Siapakah dia? Itu tidak perlu kujelaskan, terlalu panjang dan berliku.

Tak seperti dia yang kukenal dulu saat berjumpa pertama kali di gunung Semeru, hampir tidak pernah serius dan sedikit gila-gila. Artinya tidak gila beneran, hanya kelihatan sedikit berbeda dari yang dikatakan orang kebanyakan sebagai orang normal. Namun aku tau kalau sebenarnya dia jauh lebih paham akan kehidupan dari orang yang sering dianggap normal.

Sambil memetik gitar tanpa mengeluarkan suara di mulutnya, aku menemuinya. Mencoba berbasa-basi. Diapun begitu, namun lambat laun alur mukanya kelihatan serius ketika dia mulai berbicara tentang kehidupannya.
"Aku hampir gila" begitulah dia memulai. "Aku bisa jadi kuli, tukang becak, pemulung, tapi aku tidak bisa jadi munafik! Ujarnya sekali lagi.

"Kenapa bisa? ada apa?, ujarku pura-pura mengerti.

"Aku manusia, walau tidak seperti orang kebanyakan. Aku cuma mau menjadi diri sendiri, aku tidak mau jadi orang lain. Orang tuaku menggambarkan tentang kehidupan, aku juga menggambarkan tentang kehidupan, tidak nyambung malah bertolak belakang. Ditarik jalan tengahnya justru hanya menimbulkan masalah baru. Aku tidak melawan, cuma aku tidak bisa menjalani kehidupannya. Aku memilih pergi. Aku akui aku berdosa dan aku akan belajar dari dosa-dosaku. Aku tidak bisa membohongi diriku sendiri".

Aku memilih diam, dan mencoba menjadi pendengar yang baik. Terkadang diam dan mendengarkan menjadi pilihan terbaik.

"Aku tahu aku dilahirkan oleh ibuku, aku tahu aku keluar dari rahimnya, dan surga ada ditelapak kakinya, aku di buat dan dibesarkan oleh keduanya, aku sangat berdosa berbicara tentang kehidupan di depan keduanya. Aku terlalu angkuh dan sombong. Tapi aku tidak bisa menjalani kehidupan yang mereka gambarkan, aku tidak mau jadi gila. Aku mau jadi orang sukses, kaya dan tentunya berguna bagi orang lain tapi dengan caraku sendiri. Apakah jika berbeda dengan orang lain terutama dikatakan orang terhormat lalu aku bukan manusia?
Aku tidak menyalahkan keduanya, yah, paradigma masyarakat memang terkadang kejam!

Tak perlu kujawab, karena dia segera melanjutkan perkataannya.

Aku tidak mengerti kehidupan yang dia inginkan, mereka pun tidak bisa memahami kehidupanku. Aku dianggap membuat malu bagi keluarga. Aku menyadari jalan pikirannya, tapi mereka tidak bisa memahami jalan pikiranku. Kemudian adikku datang dan langsung memaki-maki, aku merasa sangat marah, dia bukan adik yang baik, jika makiannya untuk menjadikanku lebih baik, menasehati aku bisa terima tapi makiannya benar-benar hanya untuk menambah penderitaanku, kenapa dia tidak bertanya sebelumnya apa maumu? apa masalahmu? Aku memilih pergi, untuk menjaga nama baik keluargaku sekaligus aku bisa menjalani kehidupanku sendiri. Aku merasa sangat berdosa.

"Setelah itu, aku mau dinikahkan dengan orang yang tidak kucintai, lalu bagaimana aku bisa membentuk keluarga sakinah, mawaddah, warahmah jika aku tidak mencintainya? Kalau cuma faktor biologis, apa bedanya kalau aku ketempat-tempat pelacuran? Belajar mencintainya? Apakah cinta bisa dipelajari?
Untuk nama baik keluarga, apakah demi nama baik aku harus jadi gila dan menjadi munafik seumur hidupku?

"Dikapal, dalam perjalanan kesini aku ceritakan hal ini kepada temanku, temanku bilang kalau dia aku ini benar, tapi menurut orang lain aku ini salah. Lalu dimanakah kebenaran itu? Apakah kebenaran itu, bagaimana memperolehnya? Lalu dimana letak absolutnya? Kebenaran itu mau diapakan? Bagaimana menjalaninya?

"Aku mengakui aku salah, aku berdosa, sangat berdosa. Aku bukan pecundang yang tidak mau mengakui kesalahannya!

Kemudian dia terdiam agak lama, ketegangan nampak diwajahnya. Walau begitu nampak jelas kepuasan dalam dirinya setelah menumpahkan segala isi hatinya. Aku tak bisa berkata apa-apa, ini bukan wilayahku, aku tak bisa dan tak mau mencampuri urusan keluarganya, dia jauh lebih tua dariku. Dia cukup sadar dan dewasa untuk memilih jalan hidupnya.
Aku pamit menuju kamar, aku sengaja membiarkannya sendiri. biasanya beban yang sudah ditumpahkan butuh suasana sepi dan sendiri.

Namun kata-katanya masih terngiang dikepalaku ketika mencoba tidur dikasur yang tak lagi empuk, terutama
kata-katanya,
Aku akui aku berdosa dan aku akan belajar dari dosa-dosaku. Aku bukan pecundang yang tidak mau mengakui kesalahannya! Aku cuma tidak mau JADI MUNAFIK!

Esoknya aku terbangun, dia sudah pergi lagi..

Selasa, 01 Februari 2011

Pesan Einstein

  Foto oleh Oren J. Turner tahun 1947,Sumber: Wikipedia

Albert Einstein

Hakekat Nilai dari Ilmu:
Pesan Kepada Mahasiswa California Insitute Of Technology

Rekan-Rekan yang Muda Belia:
Saya merasa sangat bahagia melihat Anda semua di hadapan saya, sekumpulan orang muda yang sedang mekar yang telah memilih bidan keilmuan sebagai profesi.

Saya berhasrat untuk menyanyikan hymne yang penuh puji, dengan reflain kemajuan pesat dibidan keilmuan yang telah kita capai, dan kemajuan yang lebih pesat lagi yang akan Anda bawakan. Sesungguhnya kita berada dalam kurun dan tanah air keilmuan. Tetapi hal ini jauh dari apa yang sebenarnya yang ingin saya sampaikan. Lebih lanjut, saya teringat dalam hubungan ini kepada seorang muda yang baru saja menikah dengan seorang istri yang tidak terlalu menarik dan orang muda itu ditanya apakah dia merasa bahagia atau tidak. Dia lalu menjawab ”Jika saya ingin mengatakan yang sebenarnya maka saya harus berdusta.”

Begitu juga dengan saya. Marilah kita perhatikan seorang Indian yang mungkin tidak beradab, untuk menyimak apakah pengalaman dia memang kurang kaya atau kurang bahagia dibanding dengan rata-rata manusia yang beradab. Terdapat arti yang sangat maknawi dalam kenyataan bahwa anak-anak dari seluruh penjuru dunia yang beradab senang sekali bermain meniru-niru Indian.

Mengapa ilmu yang sangat indah ini, yang menghemat kerja membikin hidup lebih mudah, hanya membawa kebahagiaan yang sedikit kepada kita? Jawabannya yang sederhana adalah – karena kita belum lagi belajar bagaimana menggunakannya secara wajar.

Dalam peperangan, ilmu menyebabkan kita saling meracun dan saling menjagal. Dalam perdamaian dia membikin hidup kita dikejar waktu  dan penuh tak tentu. Ilmu yang seharusnya membebaskan kita dari pekerjaan yang melelahkan spiritual malah menjadikan manusia budak-budak mesin, dimana setelah hari-hari yang panjang dan monoton kebanyakan dari mereka pulang dengan rasa mual, dan harus terus gemetar untuk memperoleh ransum penghasilan yang tak seberapa. Kamu akan mengingat tentang seorang tua yang menyanyikan sebuah lagu yang jelek. Sayalah yang menyanyikan lagu itu, walau begitu, dengan sebuah itikad, untuk memperlihatkan sebuah akibat.

Adalah tidak cukup bahwa kamu memahami ilmu agar pekerjaanmu akan meningkatkan berkah manusia. Perhatian kepada manusia itu sendiri dan nasibnya harus selalu merupakan minat utama dari semua ikhtiar teknis, perhatian kepada masalah besar yang tak kunjung terpecahkan dari pengaturan kerja dan pemerataan benda agar buah ciptaan dari pemikiran kita akan merupakan berkah dan bukan kutukan terhadap kemanusiaan. Janganlah kau lupakan hal ini ditengah tumpukan diagram dan persamaan.
(1938)
Dikutip dari buku ILMU DALAM PERSPEKTIF
Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakikat Ilmu
Ditulis oleh Jujun S. Suriasumantri
Penerbit Yayasan Obor Indonesia, Jakarta 2009

The Road Not Taken


Dua jalan bercabang di hutan yang menguning,
Maaf aku tak bisa melewati dua-duanya
Sebagai satu-satunya pengelana, lama aku berdiri
Menatap salah satunya sejauh mungkin
Sampai jalan itu berbelok di semak-semak.

Lalu kupilih jalan yang lain, sama rupa dan wujudnya,
Mungkin malah tampak lebih baik,
Karena jalan itu berumput dan ingin di pijak;
Meski lalu lalang di tempat itu
Telah samar-samar mengubah keduanya

Pagi itu dua jalan sama-sama membentang
Tertutup daun-daun yang tak pernah terinjak.
Oh, kusimpan yang pertama untuk lain hari!
Meski melihat dari pengalaman,
Aku ragu apakah aku akan kembali.

Dengan berat aku bercerita
Pada masa yang teramat lampau:
Dua jalan bercabang di hutan, dan aku...
Aku memilih jalan yang jarang dilalui orang,
Dan pilihanku sudah membuat perbedaan besar.


Oleh Robert Frost,
Dikutip dari buku Paulo Coelho (The Winner Stands Alone)



Jumat, 21 Januari 2011

Diam !!!

Diammmm...
begitu banyak dusta dalam kata

karena kata tak lagi bisa dimengerti
kata hanyalah permainan bibir yang mengurai angka-angka
dalam untaian huruf-huruf
menjelma menjadi tipuan realita..
..Kata adalah fatamorgana..

Diam !!!
bukankah diam adalah bahasa?

Bayang-Bayang

Kau tak pernah menyukai bayang-bayang, yang menyerupai segala gerak,
menguntit kemanapun langkah, menjelma di kala terang dan menghilang kala gelap..

Kau tak mau jadi bayang-bayang, yang mengutuk kegelapan.
Tak berdaya, tak punya bentuk, selalu menyerupai objek yang bukan dirinya,
tak bisa menentukan arahnya sendiri..


Kau yang berdiri kosong di serpihan kaca..
Menatap dalam segala dusta..
Kau yang bernanah, kau yang berbalut sutra,
yang selalu merindu bayang-bayang..

Bayang-bayang yang akan selalu menyertai langkahmu..
Bagimu bayang-bayang pertanda sirnanya gelap, datangnya cahaya..

Lalu adakah yang tak punya bayang-bayang selain cahaya, kegelapan, dan bayang-bayang itu sendiri?

Jumat, 07 Januari 2011

Persepsi

Kabut pagi itu menutupi rumput liar dan pepohonan di jalan sepatak dengan jurang-jurang yang suram. Semua seolah-olah sama saja..

Tidak, kabut terlalu banyak menghalangi pandangan, semua seakan dekat yang ternyata jauh, semua seakan sama walau hakikatnya berbeda, mengaburkan yang seharusnya nampak jelas..

Berbagai argumen pun bermunculan. Para pengembara kebingungan mencari arah. Ada yang kembali, ada yang bertahan menunggu kabut berlalu, ada pula yang menerobos..

Begitulah, pandangan terkadang menentukan pilihan..

Kamis, 06 Januari 2011

Helai-Helai Rumput

Siapa pun yang menggenggam tanganku sekarang,
Tanpa satu hal semuanya akan sia-sia,
Peringatanku jelas sebelum kau makin mendekatiku,
Aku bukan seperti yang kau kira, melainkan jauh berbeda.

Siapakah yang akan jadi pengikutku?
Siapakah yang mencalonkan diri untuk mendapatkan kasih sayangku?
Jalannya mencurigakan, hasilnya tidak jelas,
mungkin malah merusak.

Kau harus mengorbankan semua hal lain,
akulah yang harus jadi satu-satunya acuanmu.
Masa pelatihanku akan berlangsung lama dan melelahkan,
Kau harus mengabaikan teori lama tentang kehidupanmu,
serta semua kepatuahan terhadap kehidupan disekitarmu,

Jadi tinggalkan aku sekarang, sebelum kau bersusah-susah,
angkat tanganmu dari bahuku,
Jauhi aku dan pergilah.

Sebuah puisi yang indah dari WALT WHITMAN, 
dikutip dari buku Paulo Coelho, THE WINNER STANDS ALONE

Senin, 03 Januari 2011

Meracau

Beginilah ketika terbangun dikala pagi, meracau tidak karuan..mungkin pengaruh kafein dan nikotin yang berlomba menyusup dalam tubuhku, membuang sampah dan racun lalu pergi..tapi maaf, aku begitu menikmatinya.

Suara yang tidak kumengerti artinya, menyelinap ke telinga, beriringan dengan not-not yang juga tidak kupahami. Anehnya, sihir itu mampu menggerakkan telapak kaki tanpa kusadari, bahkan kepala kadang manggut-manggut seolah-olah paham.

Menatap dunia yang tak terbatas dalam layar yang terbatas, sangat sempit, menjelajahi alam berbeda. Begitu dekat, begitu nyata, terasa. Begitu jauh, begitu liar, terkira.

Ah, kau yang muda..kau yang senang meracau.