Bayang-Bayang

Sabtu, 29 Mei 2010

Uang dan Dehumanisasi


Teringat masa-masa kecil di kampung, yang terbelakang dengan kemajuan  ilmu pengetahuan apalagi  teknologi dan informasi, di sebuah desa terpencil di Sinjai, Sulawesi Selatan. Saat kecil, kontrol perilaku dari orang tua dikampung mendominasi prilaku sehari-hari, salah satunya  dari segi sopan santun terutama saat berbicara dengan orang yang lebih tua.
Istilah sipakatau”  (bahasa bugis yang berarti saling memanusiakan) sering keluar dari mulut orang tua saya yang sering menegur ketika melihat saya berbicara kurang sopan terhadap orang yang lebih tua (sering lupa menyapa dengan kata “puang” dan “iye” dan “mappatabe” ketika lewat di depan orang yang lagi duduk. Puang” sapaan yang bernada penghormatan terhadap orang tua, siapapun dia dan iye”, berarti “iya” secara sopan serta “mappatabe” minta ijin untuk lewat dengan membungkukkan badan dan menjulurkan tangan kebawah seakan-akan menghalangi kaki untuk menghormati orang yang duduk).
Menurut ayah saya (ketika melihat muka saya yang masam ketika dapat teguran), bahwa kita harus mengahargai orang lain, (walaupun sekedar kata dan isyarat atau tanda) atau memanusiakan orang lain, karena memanusiakan orang lain berarti memanusiakan (menghargai) diri sendiri karena posisi kita sama, yaitu sama-sama manusia serta menghina orang lain sama saja menghina diri sendiri.
Tapi apakah orang yang tidak memanusiakan sesama manusia pantas untuk dimanusiakan? Orang yang tidak memanusiakan sesama manusia berarti dia telah men-dehumanisasikan dirinya sendiri. Seorang teman saya pernah bilang kalau kita membenci seseorang karena sifatnya bukan orangnya, walaupun sifaf dan prilaku sesorang tidak bisa dipisahkan artinya kita membenci sifat buruknya, tapi kita jangan sampai membenci orangnya secara utuh (keseluruhan) karena manusia pada hakikatnya semua baik.
Tapi apakah sekarang “sipakatau” dalam kemajuan ilmu pengetahuan masih ada dalam isyarat maupun prilaku?
Yah, kemajuan ilmu pengetahuan terutama dibidang teknologi informasi telah mengubah manusia yang katanya menjadi moderen, dan tak luput pula menjadikan uang, kekuasaan menjadi benda setengah dewa. Manusia dihargai bukan lagi karena Ia baik, tapi karena dia punya uang dan atau kekuasaan, entah apakah korup, culas atau rampok. Sebagian manusia telah kehilangan hakikatnya sebagai manusia, dan digadaikan dalam bentuk barang, diproyeksikan dalam bentuk materi. Seperti yang dikatakan Murthadha Muttahari bahwa  ilmu pengetahuan gagal mencetak kehidupan menjadi kehidupan manusia, tetapi hanya menjadikan dunia menjadi dunia manusia.
George Sarton dalam Murthada Muttahari, Manusia dan Alam Semesta mengatakan bahwa
“Dibidang-bidang tertentu, ilmu pengetahuan berhasil membuat kemajuan yang hebat, namun dibidang-bidang yang lain yang berkaitan dengan hubungan antar ummat manusia, misalnya dibidang politik nasional dan iternasional, kita masih menertawakan diri kita”.
Hal tersebut tidaklah berlebihan, wakil rakyat, dan pemerintah dipilih bukan karena dianggap baik dan mampu tapi karena apakah dia punya uang atau tidak sehingga yang diperjuankan bukan kemanusiaan dan kepentingan ummat manusia (rakyatnya) tetapi apakah ada uangnya atau tidak, sehingga kedaulatan rakyat dalam demokrasi bisa dipertanyakan, apakah kedaulatan rakyat atau kedaulatan uang? dan apakah kepentingan rakyat (ummat manusia) atau kepentingan uang dan kekuasaan?
Dalam dunia Internasional, negara-negara adidaya pun ramai-ramai meng-ekspansi negara-negara lain dalam berbagai bentuk, seperti ekonomi, teknologi, ideologi (seakan-akan kebenaran adalah apa yang menurut mereka benar), budaya bahkan perang pun jadi halal bagi mereka atas nama Dollar yang dibungkus rapi seolah-olah merekalah pahlawan kemanusiaan.
Begitupula yang sering terjadi dalam masyarakat, orang dihargai bukan lagi karena dia baik atau karena sasama manusia, tapi karena dia kaya, tanpa mempedulikan apakah dia kaya dari menindas sesamanya, apakah dari uang haram atau bukan, yang jelas kaya, anda terhormat, jadi tidak mengherankan kalau manusia ramai-ramai mengumpulkan uang dengan menghalalkan semua cara.
Jauh-jauh hari Einstein telah mengingatkan perlunya harmonisasi Ilmu Pengetahuan dengan Agama (moralitas) bahwa Agama tanpa Ilmu sama dengan Lumpuh, dan Ilmu tanpa Agama sama dengan Buta. Ini pula yang dikhawatirkan oleh Pramudia Anata Tour, bahwa ilmu pengetahuan yang jatuh kepada orang-orang yang tidak bermoral adalah bencana besar, dan cara untuk memperbaiki kembali adalah ilmu pengetahuan harus jatuh di tangan orang-orang yang bermoral.
Ah, ngeri juga kalau kata “sipakatau (saling memanusiakan) berubah menjadi “sipakadoi” (saling meng-uangkan) atau “sipakadongo” (saling membodohi/menipu).

Tidak ada komentar: